“Kau tau, yang dibutuhkan manusia
selain makan adalah mimpi?” bisik Dedi Semprul kepada Muna di sela-sela waktu
kuliah.
“Tidak.” jawab Muna singkat
sambil melengos tak acuh.
Muna adalah orang ke seratus yang
ditanyai Dedi Semprul begitu, dan tiap orang yang ditanyainya hampir memiliki
jawaban yang seragam; kalau bukan “Tidak”, ya “Buat apa mikirin begitu? Itu
tidak akan ditanya sama malaikat.” Mereka menjawab itu sambil pergi.
Dedi Semprul hampir kehilangan
otaknya. Berhadapan dengan sesama mahasiswa saja sudah hampir membuatnya
sinting, apalagi sok-sokan mau urus negara? Dedi Semplur berjalan gontai di
lorong kampus. Ia melihat teman mahasiswa yang lainnya sedang berbagi cerita
dengan ceria. Ketika Dedi Semplur lewat di hadapan mereka, mereka melirik Dedi
Semplur dengan tatapan iba.
*
Dedi Semplur dikenal sebagai
pengkhayal ulung. Di depan kelas, selagi tidak ada dosen, ia bisa bercerita
berjam-jam, mengisahkan kembali Romeo dan Juliet atau Laila dan Majnun atau
Habiebie dan Ainun dengan gubahan baru yang memesona. Kalau di antara mereka
ada yang pernah membaca karangan itu, pasti akan berkomentar, “Ceritanya gak
seperti itu, Semprul!” Untungnya, tidak pernah sekali pun komentar itu didapat
oleh Dedi Semprul.
Selain suka bercerita tentang
cinta yang mau tak mau puncaknya adalah deraian air mata, Dedi Semprul pun suka
bercerita tentang revolusi. Baginya, cinta adalah bagian terpenting dari
revolusi. Dari kisah-kisah cinta itu, ia selalu menuturkan hikmah. Cinta berkaitan
dengan kebahagiaan, maka kalau kita menyerahkan cinta, berarti kita menyerahkan
kebahagiaan. “Si Tuli dan Si Buta bisa hidup bahagia karena cinta yang mereka
miliki masing-masing, dan mereka hidup bersama. Maka kalau kita cinta keadilan,
cinta kesetaraan, cinta kebijaksanaan, kita harus bisa memperjuangkan dan
merebutnya, dan menjadikannya menjadi bagian dari hidup kita. ” teriak Dedi
Semprul sambil mengepalkan tangannya, yang disambut kembali kepalan tangan
pendengarnya.
Hembusan cerita itu sampai ke
telinga pemegang kebijakan kampus. Awalnya mereka tak begitu mengenal siapa itu
Dedi Semprul, karena Dedi Semprul mahasiswa yang teramat biasa selain karena
suka berceritanya yang enggak-enggak. Pihak kampus akhirnya membayar intel
untuk menggali lebih dalam siapa itu Dedi Semprul, dan apa ideologi yang ada di
baliknya.
Dari penelusuran selama sebulan,
intel itu hanya baru bisa mengumpulkan data-data yang biasa saja. Dedi Semprul
anak pertama dari tiga bersaudara. Ayahnya berkerja sebagai tukang ojek, sedang
ibunya bekerja di pabrik sekaligus jadi penumpang setia suaminya, ayah Dedi
Semprul. Adiknya yang paling kecil baru bisa melapalkan kata ibu dan ayah,
sedang yang agak besar baru bisa naik sepeda beroda dua. Setelah peraturan
dilarang tidur di kampus diterapkan, Dedi Semprul menjadi makhluk nomaden yang
numpang dari indekos satu ke indekos lainnya, atau kalau keadaan menguntungkan,
ia masih bisa tidur di kampus dengan syarat membagi rokok dengan Pak Satpam.
Dedi Semprul tidak suka membaca, ia lebih suka banyak menonton dan nguping
pembicaraan orang, dan dari tontonan dan pendengarannya itu, ia suka membuat
cerita. Cerita Romeo dan Juliet adalah cerita favoritnya, walau isi ceritanya
lebih diinspirasi dari film-film korea yang sudah ditontonnya; ia mengambil
judul itu hanya karena baginya judul itu sudah begitu populer. Dedi Semprul pun
dikenal oleh teman-temannya sebagai pencerita roman yang ulung, yang lainnya
berpendapat roman picisan.
“Tak ada yang istimewa dari Dedi
Semprul.” bisik kawan intel yang satu.
“Ya, tapi buat apa kita dibayar
untuk hal yang biasa?” jawab intel yang satuya lagi, yang masih baru.
“Kau harus belajar, kita yang
harus membuatnya istimewa.” pungkas intel yang bertopi itu.
*
Di hadapan pemegang kebijakan
kampus, intel itu bercerita kalau Dedi Semprul adalah seorang pengkhayal yang
berbahaya. Dedi Semprul memengaruhi mahasiswa-mahasiswa lainnya dengan
cerita-cerita palsu. Ia menceritakan sesuatu yang sebenarnya tidak pernah
terjadi, hanya untuk menarik simpati dari pendengarnya. Dedi Semprul adalah
pembohong besar. Lebih dari itu, Dedi Semprul adalah konspirasi orang-orang
kiri yang ingin menggulingkan kampus, dengan khayalan dan ceritanya.
Pemegang kebijakan kampus puas
dengan laporan intel itu. “Karena untuk itu, kau dibayar.” bisiknya, dan
membuat dua intel itu tersenyum lebar.
Sekembalinya ke ruangan, intel
yang baru bertanya, “Tidakkah tadi agak berlebihan?”
“Ya, agak berlebihan. Tapi kita
sudah membantu dia bekerja agar tak terlalu pusing lagi mencari-cari alasan.
Kita memang tumbal. Dan untuk itu, kita dibayar. Mengerti?”
*
Keesokan harinya, peraturan baru
terpangpang: “Dilarang Mengkhayal di Kampus.” Tak ada yang kaget dengan
peraturan baru itu, selain Dedi Semprul. Kebanyakan mahasiswa menyadari, kuliah
berarti harus bisa membiasakan dengan kebiasaan-kebiasaan baru, termasuk dengan
semua peraturan-peraturan baru yang ada di dalamnya. Mahasiswa yang dikit-dikit
suka mengkhayal, tinggal ditinggalkan kebiasaan itu, selesai.
Tapi tidak dengan Dedi Semprul. Mengkhayal
baginya menjadi satu-satunya hal yang indah yang masih ia miliki di dunia. Mengkhayal
adalah hak prerogatif tiap-tiap manusia. Maka ia pun ingin melawan, tapi tentu
harus punya teman.
Dedi Semplur mengajak
kawan-kawannya dengan pertanyaan diplomatis, “Kau tau, yang dibutuhkan manusia
selain makan adalah mimpi?” Namun pertanyaan itu dijawab tak acuh. Dedi Semprul
pun hampir kehilangan otaknya.
***
“Radit, kau lihat otakku ada di
mana? Ia hilang tadi pagi.”
“Ratna, Ratna. Apa kau melihat
otakku? Tadi terselip di buku, tapi sekarang sudah tidak ada.”
“Angga, otakmu masih ada kan?
Boleh aku pinjam. Sebentar saja. Aku agak lupa caranya mencari.”
“Nina, Nina, kau tau yang jualan
otak di mana? Sepertinya otakku tidak akan ketemu.”
Semua menatapnya iba. Semua yakin
bahwa ia sudah gila.
Saat dia dikerumun teman-temannya,
dan katanya mereka sedang menonton pertunjukkan orang gila baru, kekasihnya
datang. “Ini tidak lucu. Bubar kalian!” bentak kekasihnya itu, yang bernama
Laila.
Namun mereka malah menatap lebih
iba kepada kekasihnya. Manusia waras mana yang mau sama orang gila, pikir para
penonton itu. Hingga kekasihnya itu tak menggubris lagi mereka, ia hanya paduli
pada makhluk yang satu itu, yang sedang kehilangan otaknya.
“Sayang, kau kenapa?”
“Ada yang mencuri otakku, Laila.
Ayahmu. Ayahmu yang mencuri otakku.”
“Tidak mungkin. Bagaimana bisa
ayahku mencuri otakmu?”
“Ayahmu tidak suka padaku. Maka
ia mencuri otakku. Agar aku gila, lalu kau membenciku.”
“Tapi ayahku salah, sayang.
Selama kau hidup, aku akan terus mencintaimu.”
Belum juga Dedi Semprul
menuntaskan cerita yang ia beri judul Laila dan Majnun itu, ia sudah digerebeg
oleh keamanan kampus. Keamanan kampus itu menjewer kuping Dedi Semprul sambil
menyeretnya ke kantor. Semua mahasiswa yang awalnya dengan khusu mendengar
cerita itu, langsung pura-pura tak mendengar apa pun, dan acuh terhadap prilaku
keamanan kampus kepada Dedi Semprul.
*
“Ini dia pengkhayal picisan yang
membuat moral kampus kita jadi ancur.” Lapor keamanan kampus itu.
“Kalau begitu, bereskan!” ucap
Pak Rektor, lalu membalikkan kursinya lagi.
Keamanan kampus itu sudah
mengerti dengan yang dimaksud ‘bereskan!’. Mereka pun membawa Dedi Semprul
menuju satu ruangan yang steril dari dosen dan mahasiswa lain. Ruangan itu
kosong, kecuali di tengahnya ada sorot lampu neon, dua kursi dan satu meja yang
di atasnya sudah tersedia bidak-bidak catur dengan rapi.
“Silakan duduk, Kamerad! Kalau
kau menang, silakan kau bercerita sesukamu terlebih dulu. Tapi kalau kau kalah,
maaf, kau harus segera menulis surat wasiat dan daftar utang-utangmu.”
Kaki Dedi Semprul mulai bergetar.
Ia boleh mengalahkan tiga ekor anjing sekaligus, membunuh nyamuk semalaman
sampai semangkuk; tapi di hadapan bidak-bidak catur, sungguh ia tak berkuasa
apa-apa.
“Kamerad, sepertinya kau tegang
sekali. Mau kubawakan kopi sama rokok?” tawar petugas keamanan itu.
“Tidak. Terimakasih.” jawab Dedi
Semplur kalem, walau hatinya bergetar hebat.
“Kalau begitu, mari kita mulai.”
Keringat mulai bercucuran di dahi
Dedi Semprul. Ia mulai kembali mengkhayal.
“Bang, pernah mendengar cerita
grand master dunia dari Afrika?”
Keamanan kampus pun mulai
tergoda. “Bagaimana?” tanyanya.
Dedi Semprul pun menceritakan
tentang seorang gadis cilik yang tiap paginya disuruh menemani ayahnya main
catur. Mereka main catur dari pagi hingga tengah hari, karena memang
pengangguran. Mereka baru berhenti setelah bidak caturnya diubrak-abrik oleh
istrinya, ibu si gadis cilik. Tapi mereka tak pernah jera, tiap hari selalu
begitu.
Hingga gadis cilik itu beranjak
remaja. Ia sangat mahir bermain catur, sampai-sampai orang yang paling jago di
kampungnya pun mampu ia kalahkan. Gadis itu pun didorong untuk mengikuti
kompetisi.
“Lalu gadis itu bertekad sekuat
tenaga untuk memenangkan setiap pertandingan. Gadis itu terus berlatih, dari
pagi hingga malam. Gadis itu terus berjuang, berjuang dan berjuang. Hingga
akhirnya ia dinobatkan sebagai grand master dunia, begitu?” sela keamanan
kampus yang seolah sudah hapal jalan cerita yang akan disuguhkan Dedi Semprul.
“Tidak, Bang. Gadis itu kalah
karena tak tahu peraturannya.”
“Gebleg! Terus kenapa judulnya
cerita grand master dunia dari Afrika?”
“Gadis yang saya ceritakan tadi
bukan dari Afrika, tapi dari Indonesia. Ceritanya belum kelar, Bang!”
Keamanan kampus itu menarik napas
dalam-dalam, lalu mengeluarkannya secara perlahan; mencoba bersabar. “Oke, kita
selesaikan ini sekarang.” ucap keamanan kampus itu sambil menyingkirkan
bidak-bidak catur di hadapannya. “Kenapa kau suka mengkhayal, Kamerad?”
“Karena aku punya imajinasi,
Bang.”
“Tiap orang punya imajinasi tapi
tak setiap orang suka mengkhayal. Jangan bermain-main, Kamerad!”
“Apa salahnya mengkhayal, Bang?”
“Kau sudah membohongi setiap
orang dengan ceritamu. Apa itu tak cukup? Kau menyulut kemarahan mereka,
membuat mereka menangis, menjerit, karena cerita palsumu. Itu juga belum
cukup?”
“Itu bukan salah saya, Bang!”
“Terus maumu salah siapa? Salah
saya?”
“Ya salah mereka, yang
mendengarkan dengan percaya. Sedari awal saya sudah memperingati, ini cerita
fiktif, cerita bohongan, bukan khutbah. Kalau mereka percaya, ya berarti mereka
yang tolol.”
“Jadi kau kira aku tolol,
Kamerad?”
“Iya, jika percaya ceritaku sebagai
cerita kenyataan, bukan khayalan.”
“Segera kau tulis di sini
wasiatmu, Kamerad! Jangan lupa tulis juga utang-utangmu, agar kau sedikit diringankan
di akhirat kelak.” pungkas keamanan kampus itu sambil menyodorkan selembar
kertas beserta balpoinnya.
Garut, 31 Agustus 2017
Komentar
Posting Komentar