Pernahkah kau mendengar kisah tentang Perempuan Hujan?
Bukan, bukan karena ia seorang perempuan lalu suka hujan-hujanan, atau
perempuan yang suka menatap hujan lalu menjadikannya puisi.
Kalau kamu belum pernah mendengarnya, baiklah, akan saya
ceritakan.
Kamu pernah pergi ke pantai? Coba kamu bayangkan pasir
lembut yang agak kehitam-hitaman menghampar luas, lalu ombak mendebur. Di ufuk
timur sana, ada sepasang elang yang sedang terbang beriringan.
Sekarang, coba kamu bayangkan jika kau ini salah satu dari
ke dua elang tersebut. Kau dapat melihat pantai dari ketinggian, terbang ke
sana ke mari melihat sudut-sudut pantai yang sebelumnya tak pernah kau lihat.
Lalu di bawah sana, kau melihat seorang petani yang masih mencangkul di sawah,
dengan caping yang sudah rusak di bagian sisinya.
Hari sebentar lagi akan gelap, penduduk pesisir itu sudah
memasukkan hewan peliharaannya ke kandang, lalu bersiap-siap menyalakan cempor.
Sementara petani tadi masih mencangkul. Air laut semakin pasang, debur ombak
pun makin kencang.
Sekarang kau bayangkan kau yang jadi petani itu, sedang
menarik mengulurkan nafas dengan gelisah. Sebentar, kau melihat ke laut lepas,
dan dengan pikiran yang picik, kau membayangkan dewa datang dari laut lalu
membereskan tugasmu. Setelah kamu sadar bahwa itu tak akan pernah terjadi, kau
pun melanjutkan pekerjaan. Keringat di tubuhmu makin lembab karena angin
berembus kencang. Sedang tanganmu makin pegal dan susah dikendalikan.
Kau pun jatuh dan tak sadarkan diri, lalu bermimpi.
***
Kau adalah seorang pemuda yang kekar, namun malang. Setiap
pemuda pesisir harusnya pandai menangkap ikan, sedangkan kau, baru menginjak
pantainya saja sudah ketakutan, seolah-olah ombak itu akan segera menelanmu.
Kau memang sempat mengalami trauma. Dulu sewaktu kau masih
kecil, sekira sepuluh tahunan, kau menyaksikan sendiri bagaimana laut memangsa
ayahmu. Kau hanya bisa mematung saja, sedang teman-teman ayahmu terlambat
memberikan pertolongan.
Kau terpekur di depan rumahmu, sedang tetanggamu sibuk
mengurusi jenazah ayahmu dan sebagiannya lagi sibuk menggali kuburan.
Teman-teman sebayamu malah sibuk rebutan bambu bekas mengukur tinggi jenazah
ayahmu, yang konon katanya bambu itu –dibantu kekuatan magis- dapat menangkap
ikan lebih banyak.
Kau berjalan paling belakang saat ayahmu digotong menuju
liang lahad. Di balik pepohonan bambu yang lebat, disaat suara azan magrib
menggema, kau mengintip bagaimana ayahmu dibaringkan, lalu perlahan tanah
menumpuk hingga membenamkan jasad ayahmu. Kau pulang sebelum doa selesai
dipanjatkan ustad di depan kuburan yang sambil menyalakan kemenyan.
***
Dalam mimpimu, kau berjumpa dengan seorang perempuan. Ia
adalah temanmu, sekaligus yang kau kagumi, atau cintai. Namun kau tak cukup
punya nyali untuk mendekatinya, apalagi mengungkapkannya. Dalam mimpi itu,
perempuan itu sedang membutuhkan pertolonganmu.
Kau pun sadarkan diri, dan menyaksikan bahwa hari sudah
benar-benar gelap. Kau hanya melihat remang-remang cahaya patromak dari laut
lepas sana, lampu minyak yang selalu dibawa oleh para nelayan kampung.
Kau sudah menghitung jika hari itu tanggal 13 dalam tahun
hijriah, jadi kau tinggal menunggu bulan muncul dan menuntunmu pulang.
***
Perempuan yang kau mimpikan sedang merajut jala di beranda
rumahnya. Kau ingat pada mimpi itu, namun kau tak ingin memercayainya. Kau
lewat seperti biasa, jalan perlahan dan membungkukkan pundak jika si perempuan
menatap ke arahmu, dan si perempuan akan mempersilakan sambil sedikit
tersenyum, setelah itu tak ada lagi yang mesti diceritakan, bumi berputar
seperti biasanya.
Tapi sekarang, kamu bayangkan jika kau ini yang jadi perempuan
itu. Kau sedang membantu ayahmu merajut jala, lalu kau melihat seorang lelaki
pesisir yang takut laut lewat di beranda rumahmu. Ia pun membungkukkan pundak
tanda menghormatimu, kau pun tersenyum karena tak ada cara lain untuk membalas
penghormatan itu.
Kau adalah perempuan yang sangat disegani oleh para pemuda.
Selain karena kau jarang bergaul dengan mereka, tetapi karena kau pun dapat
didikan agama yang cukup, hingga pemuda itu jangankan menggoda, menatap
lama-lama kau saja sudah menganggapnya sebuah kesalahan.
Seusai sekolah dasar, kau dimasukkan ke pesantren dengan
maksud dapat melanjutkan pengabdian orang tuamu mengajari anak-anak pesisir
mengaji, walau tanpa ada yang menggaji. Di pesantren kau dapat banyak ilmu dan
pengetahuan, terutama soal agama. Di sana, tiap hari kau menghapal Quran,
membaca-baca hadist, dan sedikit becanda sambil keliling kampung dengan kawan
sejawatmu.
Tapi keriangan yang seolah tanpa soal itu hanya sementara
saja kau lewati. Keceriaan dengan kawan-kawanmu di pesantren harus habis
setelah kau lulus. Kini, kau harus menghadapi kehidupan yang secara tersurat
tidak ada dalam kitab suci, dan segala soal tak cukup dihadapi dengan ucapan:
semua sudah ada yang Atur. Ada kehidupan lain yang kau sendiri pun tak
mengerti, terutama soal nelayan yang suka bertapa di balik karang besar atau
anak-anak yang suka mancing pakai bambu bekas mengukur jenazah.
Kau amat kesepian di kampung itu. Teman-teman perempuanmu
terlalu terbelakang untuk membicarakan soal agama, sedang para pemuda terlalu
jalang untuk diajak bicara. Kawan-kawan sepesantrenmu terlalu jauh untuk terus
diajak berkawan, apalagi membicarakan segala persoalan.
Hari-harimu dihabiskan di dalam rumah untuk membantu-bantu ayah
dan ibu, sesekali kau pergi ke mesjid untuk mengajari anak-anak mengaji dan
pergi ke pesisir untuk melihat senja sambil menyaksikan nelayan-nelayan yang
baru pulang.
***
Sekarang kau melihat lagi pemuda aneh itu, sedang memanggul
cangkul dengan caping di kepalanya. Ia membungkuk saat hendak melewatimu. Kau pun
tersenyum membalas penghormatan itu. Setelah itu bumi berputar seperti
biasanya, burung bernyanyi sesukanya, dan angin berhembus ke utara mendorong
perahu-perahu ke samudera.
Pagi itu kau ingin menghirup udara pantai, kau pun masuk
dulu ke dalam rumah untuk mengganti kerudung dengan yang lebih lebar, lalu
meminta ijin kepada ibumu.
Pasir berwarna kehitam-hitaman yang kau injak masih sama
dengan pasir yang kemarin, pasir yang 17 tahun lalu kau injak-injak dengan
teman sepermainanmu. Tapi kini kau merasakannya dengan berbeda. Kau memang
bukan yang dulu lagi, tapi pasir itu?
Kau ingin pergi ke tampat yang sama sekali baru, tempat yang
sebelumnya tak pernah kau injak. Kau pun berjalan ke arah timur. Dalam perasaan
gundah, kau memandang segala sesuatu dengan indah.
Jalanmu terhenti karena di depanmu ada sungai yang cukup
lebar. Tentu kau tak berniat untuk menyeberanginya, maka kau pun melanjutkan
perjalanan dengan menyusuri sungai itu, dengan harapan akan bertemu jalan raya
yang biasa kamu lalui saat hendak pergi ke kota.
Matahari terus merangkak naik, kau pun mulai kegerahan. Dari
pinggir sungai, kau naik ke pematang sawah dan mencari saung untuk berteduh.
***
Kau sudah tidak pulang selama tiga hari. Orang tuamu sudah
mencarimu ke sana ke mari, ke tempat-tempat yang biasa kau kunjungi maupun ke
tempat yang mereka sendiri pun tak yakin kau berada di sana, dan hasilnya sama:
kau tak mereka temukan. Konon yang terakhir melihatmu adalah pemuda yang takut
dengan laut itu.
Namun cerita dari pemuda itu lebih tak masuk akal daripada
para nelayan yang suka bertapa maupun anak-anak yang rebutan bambu bekas pengukur
jenazah. Aku pun tak yakin kau sendiri akan memercayainya.
Pemuda yang takut laut itu menemukanmu sedang tertidur di
saung dekat sawahnya, saat ia hendak istirahat dan makan. Tentu pemuda itu tak
berani membangunkanmu, maka ia makan saja di pematang sawah depan saung itu,
sambil sesekali memerhatikanmu.
Kau tau sendiri bahwa pemuda itu menyukaimu, namun kau
sendiri sadar bahwa tidak ada seorang pemuda pun di kampung itu yang cocok
denganmu, yang punya pemahaman cukup soal agama maupun yang mengerti soal
dakwah.
Dalam tidurmu, kau bermimpi hujan turun dan kau bermain-main
di bawahnya. Kau berpikir, betapa menakjubkannya menjadi hujan.
Pemuda yang takut laut itu bercerita bahwa kau berubah
menjadi awan, lalu terbang ke langit lepas.
Sampai kapan pun, tak akan ada yang percaya jika hujan yang
membasahi bumi itu adalah kamu. Tapi, untuk apa sebuah kepercayaan?
Komentar
Posting Komentar