Tirto.id (16/11) mengabarkan
berita tersebut dengan menyodorkan berita lain, yakni Ahok bukan orang
satu-satunya orang yang tersandung hukum menjelang Pilkada serentak Februari 2017
mendatang. Ada nama Ahmad Marzuki (calon Bupati Jepara), Samsu Umar Samiun
(calon Bupati Buton), Burhanuddin (calon Bupati Takalar), dan Rusli Habibi
(calon Gubernur Gorontalo) yang sama-sama “tersandung” hukum. Tirto.id juga
membeberkan beberapa nama yang sempat dipenjara karena terpidana penistaan
agama, diantaranya HB Jasin (1968), Arswendo Atmowiloto (1990) 41 anggota LPMI
(2006), Heidi Euginie (2015) dan Nanang Kurniawan (2016).
Kenapa nama-nama itu menjadi
muncul? Hanya Tuhan dan tirto.id sendiri yang tau. Selian itu, tirto.id pun
mengabarkan bahwa Kapolda Metro Jaya meminta warga untuk tidak berdemo pasca penetapan
Ahok sebagai tersangka.
Sigabah.com (16/11) mengabarkan
bahwa perjuangan umat muslim belum reda, harus tetap dikawal terus sampai Ahok
dipenjara. Bahkan katanya, penetapan Ahok sebagai tersangka malah dijadikan
pencitraan bahwa Ahok merasa terzalimi. Berita sebelumnya mengabarkan bahwa ada
upaya pengkavelingan ulama oleh tim kampanye Ahok; awalnya ulama Nusantara,
namun gagal, maka mereka pun mendatangkan ulama dari Mesir agar umat muslim
Indonesia berprasangka dan berpraduga yang tidak-tidak.
Kenapa Ahok dan tim kampanyenya
disudutkan dengan begitu kentara? Sigabah.com tak menggubris permintaan Kapolda
Metro Jaya untuk tidak berdemo, dengan begitu ada indikasi mendukung untuk
melakukan aksi massa kembali, dengan himbauan mengawal.
Media memang punya hak untuk
mendefinisikan realita atau fakta. Dengan begitu, maka SPANDUKdotco (kini
PANDIR-ID) pun berhak memberikan definisinya sendiri tentang realita yang
terjadi. Saya hanya akan memfokuskan pada kalimat terakhir dari dua paragraf di
atas, yakni tentang demo atau aksi massa.
Semenjak saya mengikuti
organisasi mahasiswa ekstra kampus, dengan inisial HP (maksudnya Hima Persis),
saya pun seolah terdoktrin: belum sah seseorang dikatakan mahasiswa sebelum
melaksanakan aksi, atau media populer menyebutnya demonstrasi. Ajaran semacam itu
mirip ketika saya masih menjadi santri, yakni belum sah seseorang dikatakan
santri sebelum terkena penyakit kulit. Kemiripannya yaitu sama-sama tidak
ilmiah. Kalau tak ilmiah, maka kepercayaan semacam itu termasuk mistik. Semenjak
itulah saya jadi sering ikut aksi di jalan, walau tak pernah orasi.
Ketika saya ikut aksi, tanggapan
masyarakat beragam. Pengendara sepeda motor, pejalan kaki dan pedagang banyak
yang mengacungkan jempolnya, namun pengendara mobil mewah banyak yang
membunyikan klaksonnya tanda tak suka dengan kemacetan yang ditimbulkan
mahasiswa -tapi kalau macetnya karena banjir atau ada menteri yang lewat sepertinya
lebih memilih sabar. Orasi adalah saat-saat yang sangat mengharukan, terlebih
ketika bernyanyi bersama lagu Darah Juang; seolah diri ini siap mati asalkan
jutaan rakyat terselamatkan. Tak ada yang salah, karena tiap orang pada
dasarnya ingin menjadi pahlawan, paling tidak, dianggap pahlawan oleh dirinya
sendiri.
Hal yang sangat menegangkan adalah
ketika tiap orasi tak diberi jawaban. Puisi Widji Thukul, “Hanya ada satu kata,
lawan!” menjadi alternatif terakhir ketika beramah-tamah tak mendapat sambutan.
Tentu hal semacam itu tak pernah diintruksikan oleh ormawa yang saya geluti;
kami lebih memilih mundur ketimbang “tawuran” dengan polisi. Mundur bukan
berarti kabur, kami diproyeksikan untuk menolong jika sudah ada yang terluka.
Setelah sudah banyak korban, barulah permintaan kami dikabulkan.
Malamnya media televisi
memberitakan, tapi hanya sekilas; itu pun didominasi ketika terjadi keributan,
saat orasinya terpenggal. Seperti kata Erianto, konsepsi utama suatu berita:
“anjing menggigit manusia bekan berita, manusia menggigit anjing baru berita.”
Hanya Tuhan dan Erianto sendiri yang tau maksudnya.
Aksi massa atau demonstrasi kini
sudah mendapat stigma yang negatif dari masyarakat; paling tidak tetangga saya
bilangnya begitu, atau kakak-kakak pemikir yang dengan pikirannya mampu
mengubah dunia itu. Definisi media populer tentang realita aksi massa sudah
banyak diamini: tak ada aksi massa yang tak berujung anarkis, walau pun
sebagian hanya dikesankan anarkis.
Permintaan Kapolda Metro Jaya
agar umat muslim tak melakukan aksi susulan mendapat banyak sahutan. Kakak-kakak
pemikir yang dianugerai IQ lebih, mencela bila aksi massa hanya tradisi orang-orang
barbar belaka. Tapi bagaimana pun juga, aksi menandakan adanya kecarut-marutan
di bagian tertentu, dan tanpa adanya aksi, menandakan bahwa dunia baik-baik
saja. Siapa yang senang kalau dunia ini sudah dianggap baik-baik saja?
Komentar
Posting Komentar