Itu dia, makhluk halus yang pernah memerdirikan bulu romaku. Ia juga sempat lewat di mimpiku yang absurd. Sekarang ia terkesan angkuh; berjalan di depanku dengan hanya menunduk saja, tanpa melirik, tersenyum, apalagi menyapa.
Katanya dia manusia, satu spesies hewan yang dapat berbahasa dan berpikir. Kiranya begitu menurut Plato; jika ada kesamaan, kita dapat menarik kesimpulan menjadi satu jenis spesies yang sama, yaitu manusia.
Oh iya, namaku adalah Radik, manusia yang terlahir dengan tompel di tangan. Aku punya wajah dengan standar nasional Indonesia; tak begitu memilukan namun juga tak ganteng-ganteng amat. Aku terlahir secara normal sebagaimana mestinya manusia lahir pada tahun 90-an di perkampungan, yang dibantu oleh dukun beranak. Dengan begitu, manusia lain harusnya sudah paham bahwa ini hanya cerita fiksi.
Aku benar-benar sudah jatuh cinta pada perempuan bertudung merah muda yang lewat tadi. Ia sudah seperti keajaiban, anugerah, atau kata lainnya yang menunjukkan bahwa ia begitu berharga.
Aku tau dia secara tak sengaja. Waktu itu, Himpunan Mahasiswa Jurusan Pendidikan Agama Islam mengadakan seminar, dan aku diutus untuk hadir mewakili HMJ Aqfil (aqidah filsafat). Dalam acara tersebut, ia bertanya dan memberikan komentar. Aku terkesan.
Setelah acara selesai, kami bertemu kembali di bawah pohon rindang yang menjadi tempat favoritku di antara tempat-tempat lainnya di kampus. Kami bercakap-cakap, jajan bareng dan saling meluangkan waktu untuk bertemu kembali.
Ternyata dia juga pintar menyanyi, dan saat itulah bulu romaku berdiri. Suaranya tak hanya meriuhkan rongga telinga, tapi juga sampai ke hati, entah lewat mana. Bagiku, ia tak sekedar makhluk yang punya kelebihan, tapi juga punya kekuatan. Yaitu kekuatan magis yang dapat menyulap tidurku seakan menjadi hal indah bersamanya.
Dia adalah keajaiban yang mampu membangunkanku setiap pagi. Dia adalah utopia yang menjadi nyata. Sederet kata dan makna, soalah tak berdaya lagi saat ia tersenyum padaku. Sungguh puitis, namun ironis.
Halaman gedung Rektorat itu menjadi saksi, saat kubawakan ia secarik puisi. Namun ia geram. Katanya itu hanya berlaku tahun 70-an, saat keindahan kata masih dianggap layak untuk diperdagangkan. Esoknya aku ganti dengan setangkai bunga mawar. Ia masih geram. Katanya norak untuk dilakukan seorang terpelajar. Aku bingung, namun tak ingin bungkam.
Bagiku, metafor hanyalah sebuah cara untuk memperindah hal yang literal. Ketika metapor menemui jalan buntu, maka literal saja, karena toh intinya tetap sama. Aku katakan saja padanya secara gamlang, dan yang aku butuhkan adalah jawaban, bukan komentar cara aku menyampaikan.
Ternyata aku bukanlah penafsir simbol yang jitu. Aku keliru. Utopia tetaplah utopia, dan yang nyata adalah ilusi. Atau dalam bahasa yang di pakai Karl Marx: kesadaran palsu. Si penyimbol memang suka memberi pengertian lain terhadap simbol yang ia berikan. Jelas, yang salah adalah sang penafsir simbol yang kurang jeli. Dalam posisi ini, aku yang salah. Tapi tak menutup kemungkinan juga, si penyimbol pintar bermain api.
Tentu, alasan adalah cara untuk menghalalkan sesuatu. Seperti kata Goenawan Mohamad, manusia selalu ingin dibenarkan dalam segala hal perbuatannya. Ia berdalih, aku manusia baik, dan pasti akan mendapatkan perempuan yang jauh lebih baik darinya. Jelas, sebuah lagu lama yang masih populer.
Jauh-jauh hari aku baru mengetahui, bahwa aku terlalu naif dalam menyimpulkan. Ia tetap menjadi keajaiban bagiku, kekuatan magis yang tak pernah hilang.
Ia menampik hanya gara-gara aku kuliah di jurusan Aqfil, jurusan yang tak punya prospek kerja dan masa depan yang cerah. Ia dicekoki berbagai hal yang buruk-buruk mengenai jurusan Aqfil beserta isinya. Ironinya, ia telan itu semua.
Ia sudah lewat cukup lama, hingga kerumunan orang melenyapkannya. Seperti kata Pramoedya, di dunia ini, manusia datang sekaligus bersiap untuk pergi. Namun, kenapa ia pergi dengan cara seperti ini? Tak adakah cara lain yang lebih eksotis?
Akhir yang tak puitis memang, apalagi menggembirakan.
Komentar
Posting Komentar