Hantu Itu Ada, Jenderal!







Dalam mitologi Yunani, Dewa diciptakan agar manusia tau diri, tau adat. Begitu pun dengan mitos-mitos yang beredar di perkampungan. Waktu saya mendaki gunung –daerah Jawa Tengah khususnya, saya selalu di suguhkan dengan pantangan-pantangan. Gak boleh begini gak boleh begitu saat mendaki –atau lebih tepatnya saat berada di alam bebas.

Kalau menurutkan nafsu; lha buat apa pantangan itu, kaya yang gak percaya sama Tuhan saja? Tentu titik soalnya bukan pada: apakah pantangan itu benar secara ilmiah dan agama, atau rekaan semata; tapi karena manusia suka lupa sama Yang Di Atas, dan kalau pun ingat, hanya sebatas vertikal semata, tanpa memedulikan alam dan sosialnya.

Karena itu, mitos dimunculkan; agar manusia tak berbuat semena-mena. Lalu, apa korelasinya dengan pocong, kuntilanak, suster ngesot dan hantu-hantu kontemporer lainnya?

Karena manusia punya imajinasi yang tinggi, dari mitos-mitos itu dilahirkan ‘barang dagangan’ baru. Masyarakat dulu kental dengan mitos, jika mitos itu divisualkan, maka besar kemungkinan akan laku. Maka tak heran jika kini stok film horor hampir tak pernah habis, walau katanya sudah tidak begitu percaya lagi sama mitos.

Ada percakapan yang menarik antara salah satu dosen saya dengan mustaminya ketika pengajian.
“Ibu, Bapak, Ade, percaya sama hantu tidak?” tanya dosen saya itu.

“Tidakkk...” jawab mustami serentak.

“Suka takut gak kalau pergi sendirian ke kuburan malam-malam?”

Mustami tak menjawab, malah cekikikan.

“Ibu, Bapak, Ade, percaya sama Tuhan tidak?”

“Percayaaaa...” jawab mustami serentak lagi.

“Waktu ujian di sekolah suka mencontek tidak?”

Mustami tak menjawab lagi, malah cekikikan lagi.

Pasca abad Ranaisans yang dimotori Rene Descartes, memang mitologi-mitologi Yunani dikuburkan. Segala sesuatu harus ditimbang secara rasional, maka dunia tak lagi menerima mitos. Mitos itu enggak rasional, katanya.

Dari percakapan di atas, kita dapat ambil kesimpulan: memang di dalam pikiran kita mengkontruksi bahwa hantu itu enggak ada, dan Tuhan itu yang ada. Sekali lagi, itu kontruksi pikiran kita. Namun sialnya, karena hantu tidak ada di dalam pikiran, ia malah melompat ke dalam hati. Jadi yang mengisi hati kita itu adalah hantu, bukan Tuhan.

Lalu bagaimana dengan hantu kuminisma?

 Ya kalau situ setuju dengan sebutan hantu, ya nasibnya sama. Tapi yang jadi soalnya kemudian, kuminisma tidak dilahirkan dari mitos.

Kuminisma lahir karena dialektika sejarah, karena ada manusia yang serakah. Dalil-dalil agama tak sanggup membendung keserakahan manusia, dan memang karena tak semua manusia pun percaya sama agama. Maka kuminisma hadir tanpa agama, awalnya, walau dalam perkembangannya banyak juga orang beragama yang menganutnya.

Ada percakapan menarik antara ayah dan anaknya dalam adegan sebuah film yang sayangnya saya lupa judulnya.

“Kalau kau punya sepotong roti, lalu temanmu ada yang kelaparan dan tak mempunyai sepotong roti, apa kau akan membaginya atau menyuruh dia bekerja?”

“Aku akan berbagi dengan dia, Pak!” jawab si anak lantang.

“Kau memang komunis kecilku.” timpal ayahnya sambil mengusap-usap kepala anaknya.

Memang tidak sesederhana itu; tidak hanya dengan menjadi kuminis kau bisa membagi roti dengan temanmu. Itu hanya proses dialektika, mempertentangkan dengan lawannya: kapitalis. Ada adigium seperti ini: “kalau kita ingin memahami sesuatu, maka kita pun harus memahami apa yang menjadi lawannya.” Kalau ingin mengerti siang, ya harus tau juga bagaimana malam. Kalau ingin tau siapa Kak Iqbal Aji Daryono, ya kenalan dulu sana sama Junro Ginting.

Yang jadi soal kemudian bagi kaum beragama dari kuminisma adalah bab teologis. Kuminisma kan atheis, lalu kenapa yang ngaku-ngakuya berTuhan tapi ada yang pernah jadi pengikutnya? Kata Semaoen, kuminis hanya sebagai jalan saja untuk mendapatkan  dunia, tak lebih. Kuminis hanya salah satu cara agar hajat hidup rakyat mudah terpenuhi, karena dengan jalan yang ada, perekonomian rakyat makin terjepit. Namun karena kata Taufiq Islmail orang kuminis mesti atheis -karena itu konsekuensi logisnya, maka semakin mencuat kembali lah bab teologis itu. Ada juga sih yang selalu mengait-ngaitkan dengan sejarah kelamnya, tapi bukannya itu impas dengan yang terjadi kemudian?

Ketika kuminis mengambil jalan kekerasan untuk merebut kekuasaan,

Komunisma memang sudah dibunuh sejak dalam pikiran, tapi seperti mitos: dari pikiran turun ke hati. Kalau sudah ada di hati, dihilangkannya susah Bung dan Nona.

Apa kuminisma akan diburu juga sampai ke hati? Membelah setiap dada orang yang resah karena ketakutannya sendiri.

Lalu, apa kuminisma punya kesempatan untuk bangkit lagi dari liang lahatnya? Kalau situ suka dongeng macam saya, apa sih yang enggak bisa terjadi di dalam dongeng? Bahkan banyak sastrawan yang mengatakan: “kehidupan ini lebih fiktif tinimbang cerita rekaan mana pun.”






Komentar