Kata Tagore, masa kecil adalah
masa yang penuh dengan dongengan. Anak kecil pada umumnya, disuguhkan dan suka
dengan cerita pangeran tampan dan putri cantik. Hal-hal yang diberikan dalam
dongengan, adalah hal-hal yang indah, yang berada di dunia entah berantah.
Namun berbeda dengan Tagore kecil, ia diceritakan oleh kakeknya tentang manusia
biasa, yang lalu datang bertamu dan minta makan karena lapar.
Setelah beranjak remaja, saya pun
tak pernah membantah kenapa kancil bisa bicara, atau kenapa kera begitu
tololnya. Ya, setelah saya beranjak remaja, karena masa kecil saya tak dipenuhi
oleh dongengan.
Dongeng, atau cerita apa pun,
adalah hal yang luput dari masa kecil saya. Kedua orang tua saya tak pandai
bercerita, dan saya pun baru lancar membaca setelah kelas 4 SD. Memilukan. Hal
yang tragis lainnya adalah karena memang pasokan buku-buku cerita tak ada di
kampung saya, atau di sekolah saya. Yang ada hanya buku pelajaran. Di buku
pelajaran itu suka ada gambar siswa yang sedang bersih-bersih kelas atau
halaman sekolah, atau gambar anak yang sedang main layangan. Saya masih ingat
itu, karena memang hanya bagian itu yang suka saya cermati.
Sepulang sekolah saya tak
langsung pulang ke rumah, tapi berkunjung dulu ke kebun orang -tentu bersama
teman-teman. Di sana kami bisa melakukan apa saja; dari mulai mulung mangga
yang jatuh atau pura-pura menimpuk burung –padahal sasaran aslinya ya mangga. Pulang
ke rumah hanya untuk mengganti pakaian, setelah itu: susur bukit, susur sungai,
atau susur kebun lagi. Walau tiap hari melakukan itu-itu saja, tapi ajaibnya,
tak pernah ada rasa bosan.
Pernah suatu hari kami ketangkap
basah sedang menimpuki mangga, dan pemiliknya mengejar-ngejar kami sambil
mengacungkan parangnya; mengancam. Herannya, kami bukannya jera, tapi malah
semakin sering datang ke tempat itu ketimbang ke tempat lain yang pemiliknya
baik hati.
Malamnya, ibu saya suka mengajari
saya mengeja; di bawah sinar cempor. Setelah tiga tahun diajari, hasilnya
begitu-begitu saja; tak lancar-lancar. Setelah itu saya mulai disuruh belajar
di mesjid bersama teman-teman yang lain, karena waktu itu PLN baru masuk
kampung kami. Hampir tiap malam minggu saya pun jadi sering menginap di mesjid,
karena saya dan teman yang lainnya merasa tak puas jika hanya bermain di siang
hari. Di mesjid, kami sering naik ke menara, dan kadang juga tidur di sana; dan
tentu bangunya setelah fajar menyingsing.
Waktu itu akses jalan ke kampung
kami hanya untuk pejalan kaki. Setelah berjalan ke arah barat selama setengah
jam, atau 3 kilometer dengan jalan menurun lalu menanjak, barulah akan
menemukan jalan beraspal, walau masih bolong-bolong. Mobil pengangkut penumpang
terjadwal, yaitu jam 06.00, 09.00, 12.00, 15.00 dan jam 17.00. Jika terlambat
sebentar, maka kami harus menunggu sekitar 2 sampai 3 jam. Jika terlambat mobil
yang terakhir, maka kami harus menunggu esok harinya.
Saya termasuk angkatan yang
beruntung, karena jauh sebelum saya lahir, jika hendak ke kota itu harus
berjalan dulu seharian, atau harus melewati lima bukit terlebih dulu.
Heroiknya, mereka (angkatan orang tua saya), berjalan tak hanya bertangan
kosong, tapi harus sambil memikul gula aren, atau kelapa, atau pisang. Angkatan
ponakan saya beda lagi ceritanya. Kini mobil sudah bisa terparkir di depan
mesjid, tempat saya menginap dulu. Kendaraan berroda dua pun sudah bisa lalu
lalang, walau jalannya masih belum bagus-bagus amat. Jalan utama pun sudah
sangat besar, dengan alur yang meliuk-liuk membelah bukit. Andai saya punya
mobil kaya di film-film Fast And Furious, pasti saya sudah mempraktekkan
gayanya di sana.
Beda angkatan memang beda jaman
yang harus dihadapinya. Tapi di kampung saya, dari dulu sampai sekarang, masih
belum mempopulerkan dongengan untuk anak kecil. Di kampung saya, dongeng justru
di sukai oleh para orang tua, yaitu lewat kesenian wayang atau cerita-cerita
rakyat lainnya. Anak kecil lebih menyukai mandi di sungai ketimbang dongeng,
dan para orang tua lebih menyukai dongeng (cerita wayang atau sinetron)
ketimbang menonton berita.
Tiap belahan dunia memang punya
cerita yang berbeda. Dan ini hanya cerita yang terjadi di Negara Indonesia, Provinsi
Jawa Barat, Kabupaten Garut, Kecamatan Talegong, apa? Kamu baru dengan ada
kecamatan Talegong?
Kamu punya peta Jawa Barat, kan?
Buka sana, dan pasti tak bakal ada.
Komentar
Posting Komentar