Tuhan, Ini Aku, Margaret




Penulis: Judy Blume
Alihbahasa: Santi W.E. Soekanto
Penerbit: Gramedia Pustaka
Tahun terbit: 1991

“Adakah Kau di situ, Tuhan? Ini aku, Margaret. Hari ini kami pindah rumah. Aku takut sekali, Tuhan. Aku belum pernah merasakan tinggal di mana pun kecuali di sini. Bagaimana kalau nanti ternyata aku tak suka pada sekolah baruku? Bagaimana kalau orang-orang di sana tidak menyukaiku? Tolonglah aku, Tuhan....”

Sebelumnya, tak ada daftar dalam bacaan saya untuk membaca buku ini. Penulisnya belum saya kenal, begitu pun judul bukunya. Saya memegang buku ini secara tak sengaja. Waktu itu ada pameran buku di Braga, dan teman saya membeli buku ini lalu menitipkan dulu ke saya karena ia tak membawa ransel.

Berawal dari keisengan, saya pun mengamati sampulnya, membaca judulnya, lalu mulai membuka halaman pertama. Hingga akhirnya saya menyelesaikannya dalam waktu singkat karena buku itu memang tipis, tak lebih dari 200 halaman. Tapi tak berhenti di situ, saya pun tak ingin melewatkan cerita itu begitu saja, hingga saya terdorong untuk menceritakannya kembali di sini.

Margaret lahir dari Kakek seorang Kriten, Nenek seorang Yahudi dan orang tua yang atheis. Kakeknya mendesak agar Margaret menjadi seorang Krinten, Neneknya mengklaim bahwa Margaret seorang Yahudi, sedang menurut kedua orang tuanya, “pilih saja agama yang kau mau setelah kau dewasa”. Margaret tumbuh menjadi bocah tanpa bimbingan agama apa pun, tapi tiap malam ketika ia sedang sendirian, ia selalu berbincang-bincang dengan Tuhan, mengadu hal apa pun yang dilewatinya.

“Adakah Kau di situ, Tuhan? Ini aku, Margaret. Aku sedih sekali! Semuanya berantakkan! Semuanya! Mungkin ini hukuman untukku karena aku bukan orang yang baik. Barangkali menurut-Mu, Tuhan, aku pantas mendapatkan hukuman ini karena aku jahat kepada Laura...” dari halaman 145.

Saat hendak lulus Sekolah Dasar, Margaret diberi tugas oleh gurunya untuk menyelesaikan proyek pribadinya. Setiap murid diberi kebebasan untuk memilih topik apa saja yang menjadi minatnya. Margaret pun mulai menelisik agama yang ada di sekitarnya, mengunjungi gereja, sinagoge dan membaca-baca buku tentang sejarah agama. Margaret ingin menentukan agama yang akan ia pilih setelah dewasa nanti.

“Adakah Kau di situ, Tuhan? Ini aku, Margaret. Aku baru saja mengunjungi gereja. Aku tak merasakan apa-apa di sana, Tuhan. Meskipun aku ingin sekali. Aku yakin ini tidak ada kaitannya dengan-Mu. Lain kali aku akan berusaha lebih keras lagi.” dari halaman 79.

Namun pencariannya tak berujung jawaban. Margaret tak menemukan Tuhan di gereja, di sinagoge, hingga di buku-buku sejarah. Margaret menemukannya dalam keheningan malam, ketika ia sedang sendirian.

Margaret sempat putus asa, kenapa ia tidak tumbuh dalam bimbingan agama tertentu, hingga ketika dewasa ia tak perlu lagi belajar agama dari nol. Kebebasannya untuk memilih agama malah membuatnya menjadi seorang pluralis, atau mungkin sebenarnya orang tua Margaret pun sebenarnya seorang pluralis?

“Adakah Kau di situ, Tuhan? Ini aku, Margaret.... aku telah mencari-Mu di mana-mana, Tuhan. Aku mencarimu di sinagoge. Aku mencari-Mu di gereja. Dan hari ini, aku mencari Engkau pada waktu aku hendak mengakui dosaku...” dari halaman 137.

Yang luput dari pencarian Margaret adalah agama Islam. Kalau Margaret benar-benar menelusuri sejarah agama-agama, harusnya Margaret pun sampai pada agama Islam; tapi mungkin karena lingkungannya tak memperkenankan itu (karena latar cerita ini di New York dan New Jersey, sebuah kampung di pinggir New York), hingga ia tak bisa bersentuhan (langsung mau pun tidak langsung) dengan agama Islam. Atau bisa juga setiap agama hanya jadi figuran untuk menyeruakkan pluralis, hingga penyematan agama Islam pun tak akan berefek apa-apa.

Atau bisa juga, kehadiran Margaret yang selalu rindu pada Tuhan namun belum memutuskan untuk membenarkan satu agama tertentu, menjadi autokritik bagi anak yang berkembang dalam bimbingan agama namun merasa asing dengan Tuhannya. Saya misalnya, yang sejak kecil diajari agama Islam hingga dimasukkan ke dalam pesantren, namun percakapan dengan Tuhan terasa begitu kering dan hampa, kecuali pada saat-saat tertentu, ketika saya sedang berada di puncak gunung.

Dalam beberapa hal Margaret benar, Tuhan dapat ditemukan pada keheningan ketika kita sedang sendirian, karena itu juga mungkin kenapa Salat Tahajud sendirian dalam agama Islam sangat dianjurkan. Tapi saya pun tak ingin menutup mata, Margaret menjadi seseorang yang tangguh saat menghadapi lingkungan macam itu.

Saya jadi penasaran, agama apa yang akan Margaret pilih dan diimani ketika ia sudah dewasa? Semoga pembacaannya sampai pada Islam dalam Madilog (materialisme, dialektika dan logika).

Komentar