Semenjak dideklarasikannya Savana
Post pada 6 April 2014, cita-cita kru Savana melejit tinggi, salah satu
diantaranya dapat mewarnai kampus dengan dunia literasi. Berbagai cara
diupayakan, dari mulai jam membaca ditambah sampai tak begitu menghiraukan
pesan dari sang kekasih (bagi yang sudah punya). Hingga tak sedikit para kru
Savana mendapat surat “cerai” dari kekasihnya. Ironi memang, tapi begitulah
perjuangan. Ekhem.
Walau demikian, kendala soal
teknis tak pernah usai untuk dibahas. Dari mulai menentukan rubrik, sampai
naskah yang selalu kekurangan. Tak ayal, tiga hari sebelum terbit setiap kru selalu
pontang-panting mencari naskah, yang akhirnya akan berefek juga pada kinerja
editor dan leyouter. Begitu mungkin kalau bekerja dengan mengandalkan
keikhlasan saja.
Setelah terbit, tentu setiap kru
tak lantas bersantai ria, karena memang cita-cita kami bukan hanya sekedar
terbit, tapi juga apakah berefek atau tidak. Sembari menunggu reaksi dari pembaca
yang hanya segelintir mahasiswa saja, kami pun bersiap-siap mengokohkan mental
untuk “disembur” sang pengamat: Rosihan Fahmi. Tak ada edisi yang berhenti pada
pujian saja, tapi selalu diwarnai dengan caci maki. Setiap ejekannya adalah
vitamin, setiap caci makinya adalah protein. Tapi sayangnya itu tak berlangsung
lama, setelah tiga minggu, lupa, dan kesalahan secara teknis hampir terulang
tiap edisinya.
Setelah mengamati beberapa edisi,
reaksi pembaca hampir lurus-lurus saja, kecuali kalau ada rubrik yang agak
frontal menyinggung kebijakan kampus. Tapi polemik itu tak berlangsung lama,
tak lebih dari tiga hari (karena kata hadis Nabi pun jangan bermusuhan lebih
dari tiga hari), setelah itu, saling memaafkan dan saling memafhumi.
Reaksi “tersinggung” tanpa
pangkal memang selalu dihindari, tapi setelah teks tersampaikan lewat media,
segala macam penafsiran pun datang, dan itu diluar kendali sang pembuat teks
(penanda); termasuk jika ada sebagian mahasiswa yang menuduh bahwa Savana Post
hanya untuk mereka yang suka filsafat dan sastra saja (membaca seharusnya
dijadikan prioritas utama sebelum bicara).
Cita-cita awal berdirinya Savana
Post adalah untuk belajar menguatkan dunia literasi, belajar tulis-menulis yang
kelak harus dapat mewarnai khazanah intelektual muslim. Tentu kelak intelektual
muslim tak usah lagi berapologi: “intelektual non muslin disokong oleh media
ternama dan oleh penerbit besar”. Intelektual muslim sudah semestinya belajar
menciptakan media dan penerbitan sendiri, jangan hanya mengumpat, apalagi tak
acuh. Tegasnya, Hasan beserta kawan-kawannya mendirikan Savana Post sebagai
ajang pembelajaran, dengan khayalan-khayalan tinggi untuk mengokohkan dunia
literasi intelektual muslim. Yah, berkhayallah dulu, dan entah bagaimana
jadinya jika khayalan saja dinyinyirin.
Reaksi semacam
itu amat sukar dijumpai, mungkin karena yang dilihatnya “wujud” kru Savana yang
sedikit arogansi.
Minimnya apresiasi (yang tak
sekedar basa-basi) berefek pula pada melemahnya semangat. Savana Post
ditinggalkan oleh beberapa krunya, namun itu tak mambuat kru yang lain patah
arang. Hingga akhirnya Savana Post mengadakan renovasi, dan percaya kalau anak
yang lebih muda selalu punya semangat yang lebih tinggi, dengan cita-cita dan
khayalan yang lebih tinggi pula. Savana Post pun beralih kepemimpinan, beralih
punggawa dan rekan kerja.
Mengenang dan membincangkan soal
teknis, memang selalu berujung pada narsisme, dan narsisme tak lebih baik dari
eksistensialisme. Yang menyatukan Savana tentu bukan hanya karena sering tidur
bersama dan makan dalam satu alas, tapi juga karena punya cita-cita dan
khayalan yang sama.
Masih suka berkhayal, kan?
April, 2016
Komentar
Posting Komentar