Tetaplah Hidup Walau Tidak Berguna

 


Sekitar dua tahun yang lalu, salah satu teman semasa remaja saya ada yang mati bunuh diri. Tentu itu menjadi kabar yang sangat mengagetkan. Walau ia tidak begitu dianggap baik dalam lingkungan hidupnya, tapi tetap saja, kehilangan orang yang kita kenal dengan cara yang tidak wajar, akan menyisakan lubang yang cukup dalam.

Saya memang tidak begitu berkawan baik dengannya. Ia hanya sempat menjadi bagian di masa remaja saya. Waktu itu, ketika saya baru lulus Pesantren dan harus menunggu sekitar sepuluh bulan untuk ikut ujian persamaan Aliyah, saya tinggal di rumah nenek, dan ketika itulah yang menjadi perkenalan saya dengannya.

Ia memang sedikit lebih bengal daripada kami. Ada banyak hal yang membuat orang tuanya murka. Walau kami menjalani masa remaja dengan sedikit nakal, tapi ia lebih berani daripada kami. Ia tak ragu untuk mencuri ayam tetangga, tak ragu untuk menjual gabah kering ke bandar, sedang gabah itu untuk persediaan makan keluarganya selama masa paceklik. Dan ia pun mendapatkan akibatnya; ditempeleng oleh orangtuanya sendiri.

Tapi ia tetaplah anak dari orangtuanya, teman bagi kami walau sangat menjengkelkan. Akan selalu ada ruang untuk memaafkan kembali.

Sebagai anak petani seperti kami, sebenarnya ia bukan pemalas yang akut. Ia sering membantu orangtuanya mencangkul, menyabit rumput, atau menjadi kuli pikul. Dalam hal ini, ia lebih rajin daripada saya. Saya tinggal di rumah nenek justeru karena untuk menghindari pekerjaan-pekerjaan seperti itu. Ibu saya sedang bekerja di luar negeri, dan semua lahannya digarap oleh kakak saya, sedang saya enggan membantu kakak saya −walau dalam beberapa hari, terutama ketika masa panen tiba, saya pun terpaksa membantu kakak.

Mungkin ia iri melihat saya, yang tidak terlalu bekerja keras membantu orangtua, tapi dengan entengnya masih bisa membeli rokok, sedangkan ia yang sudah banting tulang, tapi tetap saja masih kesusahan bahkan untuk membeli sebungkus rokok.

Waktu itu pekerjaan saya menjadi tukang ojek. Menjadi tukang ojek ketika itu (terutama di kampung) adalah jenis pekerjaan yang cukup membanggakan. Jika menjadi petani kita harus menunggu tiga bulan atau lebih untuk bisa panen, menjadi tukang ojek bisa menghasilkan setiap hari. Terlebih jika hari pasar tiba, kerja satu hari bisa untuk ngopi satu minggu.

Menjadi buruh tani atau kuli pikul juga sebenarnya bisa menghasilkan setiap hari, tapi keringat yang dikeluarkan tentu saja berbeda, dan jumlah hasilnya pun berbeda.

Maka tak jarang waktu itu, pemuda-pemuda desa merengek kepada orangtunya untuk menjual sebagian lahannya agar bisa dibelikan sepeda motor. Cita-cita pemuda desa waktu itu sangat sederhana: menjadi tukang ojeg. Tapi tentu, tidak semua orangtua punya lahan yang cukup luas untuk dijual.

Setelah ujian persamaan Aliyah selesai, saya melanjutkan kuliah di Bandung. Hubungan saya dengan pemuda itu pun nyaris selesai. Saya tidak tau lagi kisah hidupnya, bagaimana hubungannya dengan orangtuanya, bagaimana ia dengan teman-temannya. Kami hanya bertemu ketika lebaran saja, dan itu pun hanya selintas, hanya saling menyapa, yaitu ketika saya harus mengunjungi rumah nenek.

Kabar kematiannya saya terima ketika saya harus berdiam diri cukup lama di kampung karena virus corona. Katanya, ia mati bunuh diri sekitar dua minggu yang lalu. Yang menyampaikan kabar itu adalah sepupu saya, yang memang sekampung dengannya.

Menurut penuturannya, konon ia sudah melakukan beberapa kali percobaan bunuh diri, namun yang sebelum-sebelumnya gagal. Ia sempat memakan sabun colek, namun belum juga keracunan dan nyawanya melayang, ia sudah merasa tersiksa. Ia pun berusaha memuntahkan lagi apa yang sudah ditelannya.

Selanjutnya ia pun pernah menceburkan diri ke sebuah situ yang cukup dalam. Ia berharap bisa mati tenggelam. Tapi sialnya di sana ada seorang penggembala domba, dan dengan sigap menolong pemuda tersebut.

Pemuda itu sepertinya sudah mengidap penyakit. Mungkin semacam depresi, tapi tidak ada yang tahu pasti, karena ia tidak pernah diperiksa. Dan orang-orang yang berada di sekitarnya hanya cukup dengan menyebutnya sudah setengah gila.

Ia baru berhasil pada percobaan ketiga. Ia mati gantung diri di rumahnya, dengan tambang yang ia curi dari kandang tetangganya. Tak ada yang berani masuk rumah itu sebelum polisi datang, bahkan orangtuanya sendiri.

Karena sudah beberapa kali melakukan percobaan, dan orang-orang di sekitarnya memberi kesaksian jika ia sudah setengah gila, maka polisi tidak melakukan penyelidikan lebih jauh. Walau begitu, tetap saja kejadian tersebut menyisakan luka yang sangat dalam bagi orang-orang di sekitarnya.

Perasaan gagal untuk meyakinkan tetangganya tetap hidup, terus menghantui sepupu saya. Tidak ada kematian yang lebih menyakitkan bagi orang-orang di sekitar selain kematian karena bunuh diri. Dan perasaan-perasaan apakah kita sudah cukup berguna atau tidak, bisa menjadi salah satu pemicunya.

Perasaan jika kehidupan kita tidak cukup berguna memang sangat memalukan. Disaat teman-teman kita unjuk prestasi dan capaian, sedang kita merasa sangat jauh untuk mendapatkan hal itu, rasanya ingin menghilang. Entah dengan tidak aktip bermain media sosial, atau benar-benar hilang dari muka bumi ini.

Tapi kematian menutup semuanya, sedang dengan tetap hidup, bisa membuat kemungkinan lain. Mungkin tidak hari ini, tidak esok, atau tidak selamanya. Tapi dengan kita tetap hidup, akan ada orang lain yang merasa hidupnya lebih berguna. Dan mungkin, itulah tugas kita sebenarnya.

Komentar