Tak ada yang lebih badjingan dari daripada mahasiswa yang
mendemo dosennya. Kalau ada mahasiswa yang sukanya copy paste tugas, mabuk,
main judi, itu kadar badjingannya masih rendah, karena mereka badjingan untuk
dirinya sendiri. Tapi kalau ada mahasiswa yang mendemo dosennya, ini baru
badjingan yang kafah, yang tiada tandinganya lagi.
Begini: dosen kan yang sudah memberikan kita ilmu,
memberikan taudalan yang baik, masa mau dituntut? Kalian juga kan mahasiswa,
sudah belajar etika, masa gitu caranya?
Oke, kata kalian, kalian tidak sedang menuntut beliau
sebagai dosen, tapi sebagai Ketua 2 (Bidang Keuangan) dan itu merupakan dua
entitas yang berbeda; yang satu sebagai guru dan bagaimana pun keadaannya harus
dihormat, yang kedua sebagai pekerjaan profesional dan mau tak mau harus
memanusiakan manusia. Lalu apa yang mau kalian tuntut?
Kalau soal perkara bayaran, kalian harusnya nyadar sejak
awal, kalau mau kuliah itu ya harus bayar, karena itu konsekuensi logisnya. Kalau
merasa gak mampu, ya jangan kuliah, cari kerja aja sana! Jadi kuli panggul di
pasar atau jadi kuli pabrik atau jadi penjaga toko pakaian, syukur-syukur jadi
ulama yang tak berijazah. Kalau merasa miskin ya miskin aja, jangan sok-sok an
ingin kuliah. Gaya aja dikedepankan ingin jadi mahasiswa, tapi pas waktu
disuruh bayar, gak mampu.
Kalau soal karena kalian dikeluarkan saat UTS atau UAS,
kalian harusnya nyadar bahwa kalian itu emang belum bayar! Masa gitu aja
dipertanyakan? Di kampus mana pun, kalau administrasinya belum kelar, ya gak
bisa ikut UTS dan UAS. Kami gak mau tau kalau kalian itu datangnya jauh-jauh,
sudah mempersiapkan ini itu, atau sudah minta doa restu kepada kedua orang tua kalian
sekali pun. Ya itu urusan kalian. Pokoknya, yang belum mampu bayar itu ya gak
bisa ikut UTS atau UAS, titik. Lagian kalau kalian terus keukeuh, kan ada surat perjanjian, asalkan muka kalian tebal saja. Dan
konsekuensi orang yang tidak mengikuti UTS dan UAS itu ya gak bakal dapat
nilai. Makanya, kalau mau punya nilai, bayar dong!
Selanjutnya kalian bilang kalau cara-cara yang dipakai Ketua
2 dalam menghadapi mahasiswa yang ‘bermasalah’ cenderung represif. Kalian
dulunya pernah sekolah gak, sih? Atau langsung masuk kuliah aja? Kalau ada guru
yang galak, terus membentak kalian, ya itu wajar, kesalahan ada di pihak
kalian. Dosen itu harus otoriter dengan segala persepsi kebaikan dan keburukannya,
karena ia itu lebih tau dari kamu. Masa mahasiswa mau egaliter sama dosen, ya
gak selevel! Ada pun cara-cara yang dipakai, ya itu urusan mereka, toh mereka
lebih tau cara mana yang lebih baik. Kalian cungur-cungur ingusan tau apa? Lagian
kalau dilembutin, dengan cara-cara persuasif, tak akan menjamin kalian mau
insaf. Bentak dikit kan gak papa. Kaliannya aja yang baperan!
Terus kalau soal bab tagih-menagih, ini urusannya dengan
akhirat. Kalian tau kan kalau seseorang bisa terhalang masuk surga lantaran ia
masih punya hutang yang belum dibayar? Begitu, Bro! Beliau itu kasihan sama
kalian. Kalau soal apakah kalian atau orang tua kalian sudah punya uang atau
belum, ya itu urusan kalian. Masa yang gitu aja harus dijelasin! Masih untung
nagihnya gak sambil bawa kuli pukul juga.
Dan lebih parahnya lagi, kalian malah demo, bukan kerja.
Sudah lah gak perlu mikirin nasib orang lain, toh nasib sendiri aja masih
kelabakkan. Konon menurut kalian, di luaran sana memang banyak mahasiswa yang
tersakiti hatinya, dan biarlah itu menjadi urusan mereka, bukan urusan kalian. Kedepannya,
mending selow aja; nongkrong, nyanyi-nyanyi, maen game, ngeceng akhwat-akhwat
idaman. Kalau mau disebut badjingan pun, paling tidak tingkat badjingannya
masih rendah, yang tak perlu dipermasalahkan panjang lebar.
Dengan adanya demo kalian, kalian sudah mencemarkan nama
baik kampus. Sadar gak? Kalau enggak, ya memang kalian harus disadarkan.
Kalau ada mahasiswa demo, berarti itu tandanya ada masalah,
dan masalahnya itu tentu bukan hal yang sepele. Gitu kan, Gus? Sudah segitu aja,
sudah bisa disimpulkan kalau kalian menyebar-luaskan masalah, dan itu aib. Orang
tanpa perlu tau masalahnya apa, esensinya apa, tapi dengan demonya kalian, itu
sudah menunjukkan masalah. Ya, kalian memang bermasalah dan harus dikasih
pelajaran!
Tentu kalian tak usah menuntut kenapa bukan masalah yang
kalian ajukan yang digubris dan diselesaikan, tapi malah kalian yang
diperkarakan; itu semata-mata karena kalian memang badjingan, badjingan sejak
dalam pikiran. Maka nikmatilah pelajarannya sekarang, para badjingan!
Kalau setelah demo kalian malah dibentak-bentak sambil
dituduh kiri, liberal dan tak beradab; ya wajar, kalian memang badjingan. Kalau
setelah demo kalian malah dinyinyirin banyak orang (termasuk oleh orang yang
tak tau duduk perkaranya); ya wajar, kalian memang badjingan. Kalau orang tua
kalian dipanggil lalu dibeberkan kegoblokkan kalian semasa kuliah; ya wajar,
kalian memang badjingan. Kalau kalian dijauhin sama gebetan kalian karena tak
tahan dengan sikap kalian, ya itu lebih wajar lagi.
Terus tuntutan yang kalian lontarkan? O iya, katanya kalian
menuntut agar Ketua 2 dialih jabatankan karena kalian menilai beliau tidak kompeten
di bidang itu hanya karena banyak mahasiswa yang merasa terdzalimi dengan sikap
dan keputusan beliau (sebagai Ketua 2, bukan sebagai dosen); atau, beliau masih
boleh menjabat sebagai Ketua 2, asal keputusan yang diambil ke depannya lebih
bijak lagi. Ya, tuntutan itu hanya angin lalu dan tak pantas didengar; dan
hanya demi itu kalian dibentak-bentak, dinyinyirin, dimusuhin pacar kalau
punya, dijauhin gebetan kalau ada. Sungguh badjingan yang bego.
Dan kenapa yang ramai kemudian adalah soal etika? Ya, karena
kalian memang badjingan yang sialnya punya celah dalam hal itu. Satu kesalahan
saja bisa membuat orang-orang buta akan kebaikan dan kebenaran yang lainnya;
apalagi pada kalian, para badjingan yang kafah plus bego.
Jadi, apa hasilnya demo? Dibentak-bentak, dinyinyirin,
dipanggil orang tuanya, lalu kalian jauhin gebetan. Ya syukurin, jalan hidup
seorang badjingan ya begitu. Terus, apa masih berani demo-demo lagi? Jangan
yah... jangan...! Kami tahu kok kalau demonstrasi itu jalan terakhir ketika
dengan dialog mengalami jalan buntu. Tapi please..,
jangan sekali-kali lagi.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus