Sebelum Hari H

 


Tidak seperti pagi sebelumnya yang sepi, kali ini warung ibuku sudah banyak didatangi oleh tetangga dan saudara. Ibu hendak membuat wajit, dan para tetangga datang untuk membantu. Aku ditugaskan ibu untuk menjaga warung, karena para bocah yang hendak jajan, seringkali membuat ibuku jengkel −mereka selalu tidak sabar untuk segera dilayani walau mereka melihat jika ibuku sedang sibuk.

Kalau sedang tidak ada bocah yang hendak jajan, aku sesekali membantu Ibu dengan melipat kertas, yang lalu mengguntingnya di setiap sudut yang terlipat. Itu pekerjaan yang cukup mudah, bahkan bocah seusia sembilan tahun pun sepertinya tidak akan kesulitan untuk melakukannya. Aku cukup dibimbing satu kali, lalu setelah itu melakukannya dengan mandiri. Memang lipatanku belum kotak sempurna, tapi masih bisa dimafhumi.

Di sela-sela pekerjaan itu, aku sering mendapat gurauan dari saudara-saudaraku. Katanya, bagaimana rasanya akan segera menikah? Apakah sudah mempersiapkan jurus jitu untuk malam pertama? Tentu aku tidak menjawabnya. Itu bukan pertanyaan, tapi hanya gurauan.

Aku sangat senang, tentu saja. Apa yang aku dambakan sejak dulu, akan segera terwujud. Tapi yang harus aku garis bawahi-cetak miring-dan ditebalkan, adalah: akan segera, belum benar-benar terwujud. Dan karena itu, hari-hari sebelum hari H malah membuatku semakin gugup.

Rasa gugup ini mungkin seperti ketika aku datang ke rumah dia untuk pertama kalinya, sekitar dua tahun yang lalu. Aku nyaris tidak bicara sepatah kata pun, hanya memandangnya dari kejauhan, lalu membiarkan ayahku untuk bicara. Tapi ketika itu mungkin belum waktunya. Aku terlalu tergesa-gesa, lalu pulang dengan kecewa.

Tapi justeru karena itu, konon, yang membuat ia (pada akhirnya) memilihku satu tahun berikutnya, ketika ia sudah benar-benar siap.

Waktu itu aku nyaris tidak bisa tidur selama satu minggu. Mungkin ini terdengar sangat berlebihan. Bagi orang yang bisa dengan mudah menarik perhatian orang lain, ini memang terdengar sangat berlebihan. Tapi bagi orang sepertiku?

Banyak hal yang pada akhirnya aku khawatirkan. Aku sudah cukup berbahagia saat menghabiskan waktu dengan membaca novel, dan sudah sangat bersyukur bila di setiap bulannya masih bisa membeli buku baru. Kelak, kebahagiaan ini sedikitnya akan berubah, dan harus berubah. Aku jangan lagi hanya memikirkan diriku sendiri.

Ketakutkan yang lainnya mungkin terdengar sangat manusiawi, terjadi juga kepada lelaki lain pada umumnya. Hal-hal yang bersifat material. Dan konon, seharusnya aku jangan terlalu memikirkan hal itu. Tapi karena aku hidup bersama masyarakat lainnya, dan pasti disodori oleh kepantasan dan kepatutan, sekeras apa pun aku berusaha untuk tidak memikirkannya, ia akan terpikirkan juga. Walau pada akhirnya tidak akan mengubah apa-apa, selain semakin mengikisnya rasa percaya diri di hadapan mertua.

Seharusnya kalian sudah mengerti betapa gugupnya aku sekarang. Dan yang paling aku takutkan, aku tidak lancar saat mengucap ijab kabul. Dan konon, mengucap ijab kabul itu harus satu tarikan napas.

Aku sudah mencoba menghafalnya. Tapi apa artinya sebuah hafalan ketika tangan dan hati bergetar? Aku sering mendadak lupa jika sedang gugup, dan sayangnya, aku nyaris belum bisa mengatasinya. Salah satu penyebab raport pesantrenku banyak merahnya karena aku sangat lemah dalam hafalan. Jika pun aku sudah sekuat tenaga menghafalnya, satu kali lirikan Asatiz bisa membuyarkan semuanya.

Tapi mungkin, pernikahanku tidak akan batal hanya gara-gara aku beberapa kali salah mengucap ijab kabul. Pak Amil akan mengupayakan yang paling mudah. Mungkin dengan membaca, atau entah cara lainnya yang aku belum tahu. Yang pasti, aku belum mendapat kabar jika pernikahan seseorang batal gara-gara mempelai pengantin prianya selalu salah saat mengucap ijab kabul. Pemikiran seperti itu bisa membuatku sedikit tenang.

Aku mendapat kabar jika temanku yang dari kota akan segera tiba. Aku mengarahkannya agar dia menungguku di persimpangan jalan besar. Google Maps di sini memang belum bisa sepenuhnya diandalkan.

Seperti yang sudah kami rencanakan, ketika malam tiba, temanku ini memberi seminar pra nikah. Tentu ini berbeda dengan bimbingan pra nikah yang diselenggarakan di kantor kecamatan. Pokoknya berbeda. Aku tidak akan memberi penjelasan lebih lanjut, karena temanku itu mewanti-wanti, jika bimbingan itu bersifat eksklusif. Tidak boleh ada pihak lain yang mengetahuinya.

Dan jika ada yang memaksa ingin mengetahuinya, maka ia harus menjadi member terlebih dahulu, dan tentu saja harus membayar juga. Mafhum, ia memang pebisnis yang ulung. Tapi karena ia teman yang baik, tarif bimbingan itu tidak berlaku kepadaku.

Setelah bimbingan selesai, aku berencana tidur, dan temanku itu izin untuk bermain game. Tapi setelah ia selesai main game, aku tidak tertidur juga. Bahkan setelah temanku nyenyak tertidur di sebelahku, aku masih terjaga, tidak tahu mengapa. Aku baru bisa tidur saat fajar menjelang. Dan setelah itu, aku dibangunkan lagi karena aku harus segera bersiap.

Sekarang ceritanya sudah memasuki hari H, dan aku seharusnya bisa membuat cerita yang lebih panjang lagi. Tapi karena kopi sudah terlanjur habis, dan persediaan stok rokok menipis, dengan berat hati aku cerita ini berhenti dulu di sini. Mungkin, lain kali, aku diberi tekad yang kuat untuk menuliskan semuanya. Nanti. Semoga saja.

 

Komentar