Kata siapa pendidikan itu hanya
untuk orang kaya? Kata siapa? Hati-hati dong kalau mau bicara!
Sepertinya kalian harus tau
anakku, anak yang tak pernah putus harapan untuk terus sekolah. Anak yang terus
belajar walau hidupnya susah. Atau, kalian hanya iri saja pada orang-orang
kaya? Tobatlah kawan! Keirian tak akan pernah memutuskan masalah, malah akan
semakin memperlebarnya.
Memang sih, tiga petak sawah
habis terjual, dua kambing melayang, tapi apa artinya itu jika anakku sudah
jadi sarjana? Kehormatan tak akan bisa digantikan dengan uang!
Sekarang, coba kalian tengok
dinding di ruang tamu itu, foto anakku keren kan saat memakai toga? Senyumnya
itu lebih manis ketimbang gula aren.
Anakku sekarang sudah bekerja di
kota, di salah satu perusahaan ternama. Memang sih gajinya belum besar, tapi
cukup lah untuk kehidupan dia sehari-hari. Ya kalau setiap pulang suka membawa
beras dan sayuran dari sini, ya wajar, kan katanya di kota segalanya harus
dibeli. Hitung-hitung untuk mengurangi resiko hidup, katanya.
Orang tua mana yang tak bangga
melihat anaknya mudah mendapatkan kerja? Dari dulu, tiap malam aku panjatkan
doa. Aku tak pernah lupa mengutipkan namanya. Dan sekarang, terbukti bahwa doaku
itu tak sia-sia.
Kalian yang masih menyangka
pendidikan itu hanya untuk orang kaya, lekaslah bertobat. Tak baik berburuk
sangka terus.
Sekarang aku hanya tinggal
menunggu waktu saja, kapan tiba waktunya anakku pulang membawa mobil mewah
beserta mantu dan cucu. Dalam penantian itu, aku pun tak lupa untuk terus
memanjatkan doa.
Pak! Tolong bantu ibu berdoa.
Siapa tau kalau yang berdoanya berdua, akan lebih cepat terkabulnya. Ayolah Pak!
Ini untuk kebahagiaan anak kita, untuk kebahagiaan dan kehormatan kita juga.
Ah Bapak, masih saja punya pikiran-pikiran
so alim. Sekarang keadaannya berlainan, Pak. Kalau sudah jadi sarjana, harus
punya mobil dong. Kalau masih tak punya, apa bedanya dengan tetangga kita yang
tak sekolah?
Memang capek yah kalau bicara sama
Bapak. Segalanya harus ditimbang untuk kemaslahatan orang banyak. Segalanya
ditimbang mangfaat dunia-akhirat. Kebahagiaan orang lain saja yang terus
dipikirkan, kebahagiaan untuk keluarga sendiri dibiarkan. Tak capek apa tiap
pagi Bapak harus pergi ke sawah? Kalau Ibu sih, sudah ogah.
Kalau Bapak memang tak mau ikut
mendoakan, biar Ibu sendiri saja yang berdoa; tapi awas yah kalau nanti Bapak
malah mau ikut naik mobil anak kita, tak kuturunkan di tengah jalan!
Ah anakku, semoga kau tak ikuti
kemauan Bapakmu ini. Kau sekolah yang tinggi kan untuk masa depanmu yang cerah.
Kalau masa depannya sudah cerah, tak bakal susah cari wanita.
Anakku, kau kan sudah melihat
bagaimana susahnya jadi petani; tiap hari bekerja dari pagi sampai petang, tapi
hasilnya tak seberapa. Makanya Nak, kau harus bekerja yang mudah-mudah, tapi
hasilnya menjanjikan. Tak usah lah kau dengarkan ucapan omong kosong Bapakmu
itu. Ia punya kebahagiaannya sendiri yang jelas tak sama dengan kita. Teruslah
bekerja, teruslah mencari uang, niscaya kau pun akan mendapat kehormatan.
Nak, untuk menjadikanmu sarjana
itu memang tak murah sebenarnya, tapi Ibu paksakan saja karena menginginkan
masa depanmu cerah. Tapi jangan bilang-bilang yah soal ini, pasalnya Ibu sudah
teriakkan ke tetangga bahwa pendidikan itu bukan milik orang kaya. Berkorban
untuk masa depanmu kan tak mengapa.
Nak, kau memang lebih gagah kalau
setelah jadi sarjana. Ibu hampir-hampir tak mengenalmu.
Komentar
Posting Komentar