Seorang pemuda yang
mati pada usia 27 tahun ini (Desember 1969), cukup banyak dikenal orang, bahkan
hingga sekarang. Catatan Harian Soe Hok Gie yang pada prinsipnya bersipat
sangat pribadi, dicetak lalu dibukukan, dan diberi judul “Catatan Harian Sang
Demonstran”. Buku itu pun terjual laris di pasaran hingga diterbitkan 10 kali,
dari mulai tahun 1983 hingga 2011 oleh LP3ES. Tak hanya sampai di situ, bahkan perusahaan
Miles Film pun ikut membuatkan sebuah film dari interpetasi (penafsiran)
kehidupan Gie, yaitu pada masa kejatuhannya Seokarno.
Soe Hok Gie juga
dikenal sebagai pencetus Pencinta Alam pertama di Indonesia, dan membuat UKM
Mapala (Mahasiswa Pencinta Alam) di Universitas Indonesia. Kini sejarah telah
mencatat namanya, bahkan tak hanya tercatat saja, tapi oleh sebagian golongan
dijadikan sebagai simbol perjuangan, ideologi pergerakan, dan juga cita-cita
ideal mahasiswa.
Tentu akan menimbulkan banyak
pertanyaan, kekuatan apa yang ada pada diri Gie hingga namanya begitu
diagungkan? Bagaimana ideologinya, hingga banyak di kenang oleh rakyat maupun
mahasisawa? Bagaimana perjuangannya untuk menjaga cita-cita ideal seorang
mahasiswa, hingga ia terkesan sebagai mahasiswa idealis? Maksud tulisan ini
bukan untuk mengagungkan “abu” Soe Hok Gie yang telah lama mati, tapi untuk
menghayati kembali “api” semangat pergerakan dan perjuangannya.
Kuliah di Universitas
Indonesia, yang mempunyai pandangan sebagai kampus elit dan mahasiswanya yang
heterogen, dengan latar belakang agama dan budaya yang berbeda, menimbulkan
berbagai gejolak dalam diri Gie. Terlahir dari keturunan Tionghoa, setidaknya
sedikit mempengaruhi pandangan-pandangan Gie mengenai ideologi mahasiswa dan
cita-cita idealnya. Gie menyeruakan, kalau mau berbicara kebenaran, harus atas dasar kemanusiaan, tanpa ada embel-embel
agama, ormas, atau golongan tertentu. Ideologi itu selanjutnya dikenal sebagai
humanisme (menghidupkan rasa perikemanusiaan).
Gie tidak serta merta
berbicara lantang seperti itu di depan anak-anak HMI, GMNI, dan PEMKRI kalau
tak punya kekuatan. Kekuatan Gie terletak pada UKM yang baru dicetuskannya bersama
rekan-rekannya, yaitu Mapala.
Mapala bertindak
sebagai oposisi dari organisasi-organisasi kemahasiswaan lainnya. Kerjaannya
cuma mengapresiasi kalau sesuai, dan mengkritik habis kalau menyeleweng.
Selanjutnya Gie dikenal sebagai pengkritik handal, sebagai representasi
(perwakilan perwujudan) mahasiswa ideal. Tentu, ia tak akan punya kekuatan
kalau hanya seorang individu.
Bersama anak Mapala
lainnya, Gie gemar berdiskusi, nonton film bareng dan melenturkan otot-ototnya
dengan naik gunung. Gie beserta kawan-kawannya menginsafi naik gunung bukan
sekedar rekreasi semata, tapi penuh cita dan keidealan mahasiswa, seperti dalam
ungkapnnya:
"Kami jelaskan apa
sebenarnya tujuan kami. Kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada
slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi (kemunafikan) dan
slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia
mengenal objeknya. Dan mencintai tanah air indonesia
dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat.
Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda, harus
berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. KARENA
ITULAH KAMI NAIK GUNUNG.”[1]
Dari kebersamaan dan
perkumpulan-perkumpulan dengan anak Mapala lainnya, akhirnya terbentuk beberapa
gagasan. Tentu, untuk menghiasi gesekan dan gejolak para mahasiswa pada waktu
itu. Herman, salah satu anggota Mapala dicalonkan untuk menjadi ketua Senat
Fakultas Sastra. Gerakan Oposisi pun pada akhirnya menceburkan diri pada
pergolakan politik kampus, dengan tujuan untuk menyehatkan kembali gerakan
mahasiswa yang sudah mempunyai keberpihakkan politik, di belakangnya tentu ada
embel-embel untuk membangun kekuatan. “Kita jadikan Mapala lebih kuat, Man!
Kita isi saja kegiatan Senat dengan apa yang kita suka. Tapi, sesekali kita
harus hantam pemerintah tentunya”.[2]
Kekuatan Mapala pun
semakin kokoh, saat Herman terpilih menjadi ketua senat. Tentu yang dimaksud
dengan kekuatan bukan mendasarkan terpilihnya salah satu anggota Mapala jadi
ketua senat yang bisa membawa Mapala ke dalam jajaran senat, tapi kualitas
setiap individu Mapala itu sendiri. Tak dibedakan antara mereka berdiri di
senat ataupun berada di Mapala, semua membentuk satu kombinasi yang sempurna,
berawal dari kebersamaan yang mereka jalin saat naik gunung, sampai merumuskan
gerak laju mahasiswa, yang pada klimaksnya Soekarno jatuh.
Berada dalam organisasi
yang lebih tinggi kedudukannya tak menjadikan mereka lupa pada cikal-bakal
ideologi dan membentuk satu gerakan oposisi: Mapala. Mapala sudah dijadikan
tempat tinggalnya, dan sesekali mereka keluar untuk belajar, untuk
bereksistensi.
Gie bukanah pusat dari
Mapala, cuma dia punya kekuatan lebih dalam bereksistensi. Maka namanya lebih
dikenal orang, hingga lapisan terbawah: masyarakat. Gie tak akan pernah
tercatat dalam sejarah kalau ia tak punya kekuatan di luar dirinya sendiri,
kekuatan itu berasal dari Mapala, orang-orang yang selalu bersamanya dalam
mewujudkan cita-cita idealnya. Tentu, semestinya bila orang-orang berbicara
tentang Gie dan pergerakannya, seharusnya tak dipisahkan dengan Mapala.
Dalam penghabisan
nyawanya, Gie berada dalam jurang keterasingan karena kritik-kritik tajamnya.
Hingga muncul slogan “lebih baik diasingkan dari pada menyerah dalam
kemunafikan”, walau sebenarnya mungkin tak sedramatis dalam filmnya, karena
sebuah film selalu ada kepentingan lain selain pesan yang ingin disampaikan.
Dan peranan anak Mapala lainnya seolah dihilangkan.
Seseorang yang
mempunyai nama besar, tak mungkin ia muncul dengan sendirinya, tapi diapit juga
oleh keinginan pribadi dan lingkungannya (teman-teman seperjuangan). Setelah
kematian Gie, anak Mapalalah yang mengumpulkan catatan hariannya, dan membentuk
Yayasan Mandalawangi (tempat faforit Gie).
Api Semangat Gie
Dalam cuplikan film Soe
Hok Gie, ditayangkan kalau Gie sedang membaca buku “Panggil Aku Kartini Saja”
karya Prameodya Ananta Toer. Sederhana saja, dengan demikian mungkin Gie banyak
terpengaruh oleh Pram.
Pesan Pram untuk umat
manusia, agar mereka bisa memberikan sesuatu pada kehidupan. Tak hanya berpusat
pada diri sendiri, yang akhirnya berpikir pun hanya untuk kelangsungan hidup
diri semata. Tentu, melakukan apa yang menurut diri ini bisa, dan
memperjuangkan apa yang patut untuk diperjuangkan.[3]
Tanpa konsep pikiran yang jelas, perjuangan melaju ke arah nihilisme. Manusia
harus bisa membikin kenyataan-kenyataan yang baru, agar arti dan makna ‘kemajuan’
tak mesti dihapuskan dalam kamus hidup manusia.[4]
Dilihat dari jalannya
sejarah, mahasiswa dikenal sebagai agen perubahan bukan karena ngampusnya, tapi
karena pergerakannya di luar kampus. Sistem akademik kini diperketat oleh
pemerintah, tak lain supaya mahasiswanya lebih doyan duduk di kelas, dan seolah
tak punya kepentingan apa-apa di luar kampusnya. Memang, pemerintah dan pihak
akademik sudah banyak belajar dari tregedi 1969 dan 1998, dan segala yang
berbentuk pergerakan mahasiswa sudah dianggap tabu dan tak patut lagi untuk diperbincangkan.
Demonstrasi mahasiswa sudah dianggap kotor dan tak lagi relevan (berguna secara
langsung), diskusi-diskusi kerakyatan dan kebangsaan sudah tak lagi digandrumi
oleh kalangan mahasiswa. Anggapan politik adalah kotor, menyebabkan rasa
berdosa apabila membicarakan tentang kekuasaan, dominasi, dan oposisi. Atau
memang fiqh syiasah itu lebih baik dihapuskan dalam setiap mata
pelajaran?
Gie menyeruakan: hanya
kerbaulah yang layak memikirkan dirinya sendiri. Manusia harusnya bertindak
layaknya sebagai manusia, yang dititipi akal budi dan akal nurani. Jangan harap
bisa berbuat lebih banyak untuk keadilan, bila asas-asas kecil saja sudah
dilupakan. Jika kita menghendaki sebuah perubahan, maka mau tak mau kita harus
berjalan ke arah itu.
“Sebenarnya untuk apa
perlawanan ini?” tanya Herman. “Kalau kita hanya menunggu dan menerima nasib,
kita tidak akan pernah tau kesempatan apa yang kita miliki dalam hidup ini.
Sederhananya, aku ingin perubahan, supaya hidup kita (seluruh rakyat Indonesia)
lebih baik.” jawab Gie.[5]
Atas dasar itulah Gie
dikenal sebagai tukang protes, walau hidupnya bisa dikatakan lebih baik
tinimbang kebanyakan rakyat Indonesia. Dengan bisa memenuhi hajat hidupnya,
tidak menjadikan Gie apatis terhadap lingkungannya, dan memperjuangkan apa yang
–baginya- patut untuk diperjuangkan. Tentu, Gie tak berjuang sendiri dan tak
mungkin bisa berjuang sendiri, Mapala adalah wajah lain dari kekuatan Gie.
Disampaikan
dalam diskusi Mahapala Jirim 2015.
[1] Soe Hok
Gie, “Catatan Harian Sang Demonstran” Jakarta, 2004. LP3S.
[2] Cuplikan
film “Soe Hok Gie”, Jakarta, 2005. Miles Film.
[3]
Pramoedya Ananta Toer, “Nyanyi Sunyi Seorang Bisu 2” Jakarta, 2000.
Hasta Mitra.
[4]
Pramoedya Ananta Toer, “Rumah Kaca” Jakarta, 2000. Lentera Dipentera.
[5] Cuplikan
film “Soe Hok Gie”, Jakarta, 2005. Miles Film.
Komentar
Posting Komentar