Mencetak dan Menerbitkan Buku Sendiri


Paling tidak, ada dua pandangan ketika kami menerbitkan buku sendiri; pertama, ditolak oleh penerbit populer dan itu berarti kualitasnya rendah; kedua, kualitasnya rendah hingga tak masuk kualifikasi penerbit populer.
Ironi ini bermula dari rapat yang diadakan di saung spanduk. Saung itu dinamakan saung spanduk karena memang dari atap hingga alasnya dibuat dari spanduk-spanduk bekas seminar. Waktu itu UKM Pecinta Alam baru bisa membuat rangka saung, sedang untuk membeli atap dan alasnya masih belum terbiayai. Alhasil, spanduk-spanduk bekas seminar dijadikan atap sekaligus alasnya. Kesohorlah oleh seantero kampus bahwa saung itu bernama saung spanduk.
Awalnya kami tidak ‘ngeh’ dengan kebesaran kata spanduk. Namun setelah mendapat wahyu dari secangkir kopi, kami baru menyadari betapa kerennya arti dari kata spanduk. Spanduk adalah perwujudan segala macam teori grafis beserta embel-embel keindahan; spanduk adalah perwujudan segala macam teori melangit berserta embel-embel perubahan; spanduk adalah perwujudan dari segala macam teori pemasaran beserta embel-embel keuntungan. Pendek kata, spanduk adalah perlawanan dengan keindahan, walau kadang dipasang dengan tidak indah.
Rapat pertama merencanakan membuat situs web spanduk.co. Namun sayang, gunung tak dapat dipeluk laut tak dapat diinjak. Setelah melirik isi dompet dan kapasitas keilmuan kami dibidang IT, kami pun hanya mampu membuat spandukdotco.wordpress.com; blog gratisan yang kami niatkan untuk ajang komunikasi gagasan, agar tiap gagasan tak berhenti di spanduk yang dipajang di ruang-ruang seminar.
Namun hampir setelah dua bulan, blog gratisan kami gulung tikar spanduk karena wifi kampus kami sering eror. Punya niat baik saja memang tak cukup.
Kami pun beralih profesi menjadi pengangguran yang sesekali mantengin buku. Waktu itu saya sedang suka novel-novel percintaan yang diselipi motivasi-motivasi hidup. Siapa tau dengan banyak membaca buku-buku seperti itu, hidup saya bisa lebih cerah. Tak berselang lama Rey Rahman datang menemui saya, lalu menceritakan keinginannya untuk menulis sebuah buku, yang lalu diterbitkan sendiri.
Rapat diadakan kembali di saung spanduk di pinggir kampus. Rapat itu berisikan: tak boleh sampai berhenti menulis, berhenti menulis berarti kufur nikmat atas apa-apa yang sudah diajarkan guru SD kami dulu. Dulu belajar sambil dimarahi untuk bisa, seletah bisa kok berhenti.
Ada enam orang yang siap menulis buku bersama-sama, yaitu saya, Rey Rahman, Agil, Anwar, Roofi dan Nawwar. Isi bukunya ada yang ringan-ringan, ada juga yang cukup berat. Yang ringan-ringannya berisi romantisme dan selayang pandang, sedang yang cukup beratnya berupa hasil kajian yang membutuhkan referensi. Isi bukunya memang tak begitu penting, tapi proses pengerjaannya yang saya anggap sangat penting.
Begini ceritanya.
Waktu itu kami menjanjikan kepada yang lain akan loancing hari kamis, sedang pihak percetakkan yang saya hubungi tak sanggup menyelesaikan hari itu. Alhasil, proses percetakkan pun kami kerjakan sendiri. Kami baru bisa menyelesaikan proses penyuntingan hari senin, malam selasanya proses tata letak hingga jam 3 dini hari. Saya baru bisa tidur jam 7 pagi.
Pada hari selasa siang, saya dan Anwar yang membeli kertas ke Kebun Kapala, Kota Bandung. Karena kami tak tau nama-nama jenis kertas, maka saya membawa satu buku yang menurut kami jenis kertasnya bagus, lalu buku itu disodorkan kepada penjaga toko sebagai contoh jenis kertas yang ingin kami beli. Setelah kami menyinggahi toko yang ketiga, barulah kami temukan yang kami inginkan. Nama jenis kertasnya saya lupa, pokoknya harga satu rimnya untuk ukuran A4 Rp. 40.000,- (sudah termasuk biaya potong karena awalnya ukuran kertasnya sangat besar)
Setelah membeli kertas, saya dan Anwar berangkat ke Pagarsih untuk mencetak cavernya. Saya pun memilih jenis kertas yang tebal tapi murah. Alhasil, cavernya keras tapi mudah lecet. Saat pulang menuju kampus, kami mampir dulu di tukang es kelapa muda yang ada di pinggir jalan Batu Nunggal. Sambil menikmati es kepala muda, kami mulai meratapi nasib.
Sesampainya di kampus, Pak Olik –TU kampus yang sesekali beralih profesi menjadi tukang photo copy- sedang tidak ada. Dia adalah penentu proses selanjutnya. Saya dan Anwar pun selonjoran di kursi empuk tempat kantornya bernaung, sambil berdoa pada Tuhan supaya Pak Olik cepat pulang kalau pergi dan cepat bangun kalau sedang tidur. Waktu itu menjelang sore, awan pun mulai mengubah warnanya menjadi merah keemasan. Saya pandangi awan itu lewat jendela depan, sambil mengembang-kempiskan dada.
Tak berselang lama, di jendela yang saya pandangi, datang sesosok manusia dengan rambut yang agak kriting, tubuhnya besar seperti bos-bos di perusahan besar -bedanya ia enggan berpesi dan berdasi-. Saat kutatap matanya, nampak bengkak petanda baru bangun tidur. Saya pun tak berani langsung memelas dan meminta tolong, hanya baru basa-basi bahwa kami sekarang sudah tau harga kertas berapa.
Dengan wajah remang-remang, Pak Olik ternyata sudah tau maksud basa-basi saya. Ia pun langsung menyuruh saya supaya memotong kertas ukuran A4 menjadi A5. Dengan modal meminjam alat, kertas itu terpotong dengan ada ketimpangan beberapa milimeter.
Selepas Isya, proses print mulai dilakukan. Awalnya dicontohkan oleh Pak Olik, lalu diajarkan kepada Anwar supaya kami bisa sendiri. Dua kali percobaan yang dilakukan Pak Olik berhasil, namun 10 kali percobaan yang dilakukan Anwar, 4 diantaranya cacat. Cacatnya ada yang terbalik atau sebelah halaman hilang. Untuk mengurangi resiko yang berlebihan, proses print kembali di lalukan oleh Pak Olik.
Proses print baru selesai pada hari rabu sekitar jam 1.00 dini hari. Saat-saat seperti itu akan menimbulkan perasaan kalau 24 jam dalam sehari itu ternyata tidak cukup. Kalau bisa, saya inginnya meminta perpanjangan waktu dalam sehari itu menjadi 500 jam. Mengkhayal memang tidak usah tanggung-tanggung. Waktu itu juga saya langsung membangunkan yang lain untuk meminta bantuan supaya bisa menyusun (menyisipkan penyanggah) di setiap per-eksemplarnya, lalu melipat caver. Saya menyiapkan proses pengeleman.
Proses pengleman –yang lagi-lagi manual- selesai jam 3.00 dini hari. Hati saya mulai lega walau saya yakin hasilnya tidak akan rapi-rapi amat. Waktu itu, Taji belum selesai melipat caver. Karena ini pengalaman pertamanya, jadinya ia sangat hati-hati. Satu caver diselesaikan dalam tempo 7-10 menit. Saya menemaninya dengan berbagai macam obrolan. Bukan tidak mau membantu, tapi alatnya memang tidak ada lagi.
Sekitar jam 4.20, Taji menyelesaikan tugasnya. Saya dan Taji langsung beres-beres tempat karena nanti akan ada mahasiswa yang kuliah. Kertas-kertas yang sedang dilem dipindahkan ke tempat yang aman; jauh dari jangkauan anak-anak. Tak berselang lama, azan subuh berkumandang. Dengan sisa tenaga yang tersisa, kami pun sembahyang. Dalih menunggu lemnya kering, saya tiduran di gudang, hingga benar-benar terlelap.
Jam 9 saya terbangun, lalu memeriksa kerjaan saya yang belum selesai. Saya pun meminta bantuan kepada Anwar dan Taji lagi untuk memasangkan caver. Di tengah-tengah pengerjaan yang menuntut ketelitian, teman yang lain datang dengan membawa makanan. Saya gembira bukan main.
Setelah selesai, kami menunggu lagi supaya lemnya kering. Sesekali Anwar yang tubuhnya lebih besar dari saya, menduduki beberapa bilah kayu yang di bawahnya ada buku-buku kami yang baru dilem. Katanya, biar mengepresnya mantap.
Selepas magrib, buku-buku itu mulai dipotong di bagian pinggir kanan, atas dan bawahnya. Selesainya selepas isya sekitar jam 20.00. Setelah itu, saya kehabisan kata.
Selanjutnya buku itu tidak kami jual, tapi diberikan kepada siapa saja yang mau. Itu yang menjadikan buku itu kini sudah tak tersisa.
Selebihnya saya percaya ucapan pada Pram dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bisu; kita hanya dituntut untuk berusaha sebaik-baiknya, terserah nanti orang bakal suka atau tidak.

Komentar

Posting Komentar