Para Badjingan yang Menyenangkan



Awalnya, saya tak begitu kenal dengan penulisnya. Maksudnya, novel ini, novel Para Bajingan yang Menyenangkan, adalah novel pertama yang saya baca atas nama penulis Puthut Ea, sebelum akhirnya saya mendapat bingkisan dari Mojok Store yang mengirimkan buku kumpulan cerpen atas nama punulis yang sama: Puthut Ea. Paling tidak, setelah itu, saya dapat lebih mengenalnya.

Para Bajingan yang Menyenangkan memang novel yang bebal, sekaligus membingungkan. Bebalnya karena saya sulit sekali menemukan pepatah-pepatah bijak, yang biasanya menjadi ruh dalam sebuah buku kebanyakan. Membingungkannya karena banyak percakapan yang saya gak ngerti karena ditulis dalam bahasa Jawa dan tidak dicantumkan terjemahnya (walau di bagian paling belakangnya ada semacam kamus, tapi percayalah, membolak-balikkan itu menyita waktu). Walau saya gak sepenuhnya ngerti, tapi saya yakin itu bukan pepatah bijak yang dapat menggugurkan sintesis pertama. Percakapan-percakapan dalam bahasa Jawa itu sepertinya guyonan yang mirisnya saya tak dapat tertawa.

Novel ini menceritakan tentang mahasiswa-mahasiswa yang tak mau beranjak dewasa; mereka sukanya nongkrong, mabuk, dan berjudi. Sungguh tak ada teladan-teladannya. Walau mereka mendapat gelar Para Bajingan, tapi katanya, sungguh menyenangkan. Menyenangkan menurut siapa? Ya siapa lagi kalau bukan menurut penulisnya, atau mungkin malah representasi dari kehidupan sekitarnya, dari zamannya.

Disebut menyenangkan karena mereka mempunyai persediaan guyonan yang tak pernah habis (walau beberapa saya gak ngerti karena ditulis dalam bahasa Jawa). Guyonan itu muncul dari logika yang nyentrik, terkadang dari keblo’onan. Misalnya: waktu Proton menjemput Bagor ke rumahnya untuk bermain judi, Bagor dalam keadaan bangun tidur, dan hendak mandi dulu. Proton pun bercakap-cakap dengan Bapak Bagor, diskusi, Proton menyodorkan rokok, dan ditolak oleh Bapak Bagor. Proton agak keheranan, karena setahu ia Bapak Bagor suka merokok juga walau jadi pengurus Muhammadiyah. Yang ia lupa kalau waktu itu adalah bulan puasa. Bagor hanya bisa mengumpat, “dasar Asu!”

Misal yang lainnya: ketika Bagor memesan jus jeruk anget, tapi setelah beberapa lama, jus jerukya itu dihinggapi lalat. Bagor mengomel kepada penjaga warungnya, “Saya pesan jerut anger, ya Mbak. Kalau ini namanya jeruk anget plus lalat”. Si Mbaknya langsung pucat dan minta maaf. Bagor dinasehati agar langsung aja pesan yang baru. Tapi Bagor malam balik memprotes, “Dia aja minta maaf, kok kamu yang riwil!” Bagor kembali dinasehati, tapi dengan jalan kebebalan: “Kamu itu sudah dikasih bonus lalat masih saja cerewet. Apa mau tak kasih bonus coro (kecoa)?”

Tapi dasar manusia, sebringas dan sebejat-bejatnya mereka, tetap ada sisi melankolis dan insafnya. Melankolis itu muncul ketika mereka mulai menyadari kalau bermain judi tak bisa pakai analisis matematika tentang kemungkinan dan peluang; bermain judi hanya cocok memakai teori keberuntungan. “Yang ngerti bukaan kartu terakhir hanya dua: Gusti Allah dan yang membuat mesin” begitu ujar Mas Mul. Sisi insafnya, mereka menyadari kalau waktu tetap tak bisa dibendung walau mereka terus-terusan bertingkah tak mau dewasa, “suatu saat, kita akan menikah dan punya anak.” ucap Bagor kepada yang lainnya.

Di novel ini, Puthut Ea menunjukkan kekuasaannya sebagai penulis; ia yang punya cerita, maka terserah ia mau dibawa ke mana arah cerita itu berlanjut dan bagaimana percakapan-percakapannya; tugas pembaca hanya duduk sambil terus memerhatikan. Semacam ada rentang antara penulis dan pembaca. Pembaca hanya dipersilakan untuk menikmati sambil berhaha-hihi, kalau ngerti. Tapi walau begitu, Puthut Ea menuturkan kisah itu dengan begitu akrab.

Bagor, betapa pun konyolnya ia, tetap bagi sekitarnya yang belum terbiasa ia tak lebih dari manusia aneh, tak menyenangkan. Menyenangkan itu bagi sahabat-sahabatnya yang sudah mengerti alur pikiran Bagor. Barangkali, tiap-tiap kalangan punya leluconnya sendiri yang tak mudah diikuti oleh kalangan lainnya, bahkan mungkin bagi kalangan lain itu menjengkelkan. Itu tergambar jelas antara geng Bagor dan di luar geng tersebut.

Diakui oleh penulisnya, kalau cerita itu merupakan kenang-kenangan masa mudanya; semacam bingkisan dari masa lalu. Ia mempersembahkan buku itu untuk kelompok Jackpot Society, pelesetan dari film Dead Poest Society. Namun sekarang penulisnya dikenal sebagai orang bijaksana, tak lagi jadi “bajingan”, walau tetap masih menyenangkan.

Ada semacam peralihan (atau mungkin lebih tepatnya perkembangan) dari cara bercerita Puthut Ea dalam novel ini tinimbang kumcer Isyarat Cinta yang Keras Kepala. Kalau dalam kumcer itu saya menemukan Puthut Ea sebagai penulis yang melankolis sekaligus abstrak, tapi dalam novel ini saya menemui Puthut Ea sebagai penulis yang kocak sekaligus licin.

Novel ini seperti ingin mengisahkan: tiap-tiap geng punya sisi bajingannya masing-masing. Namun sebajingan apa pun seorang pemuda yang bebal itu, tapi setelah ia menikah dan punya anak, ia akan tertaklukan juga. Tapi tentu, tiap manusia bisa membuat sejarahnya sendiri, tak bisa dikonsepsikan secara utuh. Maka tak menutup kemungkinan yang awalnya bajingan, mau dibagaimana pun dan diterpa apa pun, tetap akan menjadi bajingan.

Komentar