Saat Marno melihat “lampu-lampu
berkelipan di belantara pencakar langit”, seketika ia mengingat pada ratusan
kunang-kunang yang berada di sawah embahnya di desa. Ia tidak duduk di dekat
jendela itu sendirian, tapi ditemani oleh istrinya, Jane, dan membicarakan
banyak hal –yang sebenarnya sudah diceritakan oleh Jane secara berulang-ulang.
Marno mengilustrasikan kunang-kunang
itu kepada Jane –yang tidak pernah tinggal di desa- sebagai “lampu saur kecil-kecil
sebesar noktah”. Ia pun berandai jika saja ada suara jangkrik mengerik dan
suara katak ikut bernyanyi, hatinya akan sedikit lebih senang. Tapi kemudian
Jane malah mengatainya sebagai anak desa yang sentimental.
Hubungan mereka memang sedikit
ganjil. Jane terus memaksa Marno untuk mengakui jika bulan itu berwarna ungu,
dan Marno bersikeras mengatakan jika bulan itu berwarna kuning keemasan; Jane bertanya
soal bagaimana keadaan Alaska, lalu ia merasa jika Tommy, bekas suaminya,
sedang berada di sana, dan ia tidak mau Tommy kedinginan dan kesepian, dan
Marno akan menjawab semua pertanyaan itu dengan penuh perhatian; Jane becerita
jika suatu saat, Tommy pernah memberikan boneka Indian yang cantik, lalu di
lain waktu, mengajaknya ke Central Part Zoo –sedang mereka (Jane dan
Marno) belum pernah ke sana, dan Marno mendengar cerita yang terus diulang itu
dengan sabar. Hingga sampai pada satu pertanyaan yang cukup menyentak, “Aku
membosankan, ya, Marno? Mem-bo-san-kan.” Tapi setelah itu, Jane banyak bertanya
dan bicara lagi soal mainan, boneka dan piyama.
Seperti kata Eka Kurniawan dalam
kata pengantar kumpulan cerpen ini, Umar Kayam tak hanya seorang pendongeng
yang melaporkan satu kepingan peristiwa, tapi juga menjadikan kita –pembacanya-
sebagai teman bicara. Eka memberi judul catatannya: Teman Ngobrol.
Barangkali benar kata seorang filsup
–yang saya lupa namanya- bahwa kebebasan membawa seseorang pada kesepian.
Semakin ia bebas, maka semakin ia akan merasa kesepian; karena kebebasan
mensyaratkan melepaskan segala ikatan dengan yang berada di sekitarnya. Itulah
yang terjadi di Amrik sana –dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Dan saat
kita sedang merasa kesepian, maka yang kita dibutuhkan adalah kenangan.
Kita bisa merasakan nada getir
kesepian itu dari Jane yang terus mengulang cerita saat bersama mantan suaminya
dulu, atau dari Marno yang membayangkan kelap-kelip lampu di Manhattan seperti
seribu kunang-kunang –yang menandakan jika ia merindukan keramah-tamahan
suasana desa. Orang-orang desa tentu menjadikan ngobrol sebagai ritual
keseharian mereka, entah saat di pos ronda, di warung, atau di mesjid sekali
pun –yang tidak bisa ia dapatkan saat di Amrik sana.
Yang dibutuhkan Jane tentu hanya
bicara, terus bicara, apa pun itu. Seperti dalam ucapannnya, “Tapi Marno,
bukankah aku harus berbicara? Apa lagi yang bisa kukerjakan kalau aku berhenti
bicara? Aku kira Manhattan tinggal lagi kau dan aku yang punya. ...kalau dua
orang terdampar di satu pulau, mereka akan terus bicara sampai kapal datang,
bukan?”
Kebebasan membawa kita pada
kesepian, dan kesepian akan membawa kita pada kenangan. Syukurlah jika kita
masih punya kenangan, paling tidak ia akan menyelamatkan kita ketika sedang
kesepian. Tapi sialnya, kita masih saja mengagungkan kebebasan –atau barangkali
hanya saya?
Komentar
Posting Komentar