Kebebasan, Kesepian dan Kenangan

 


 Sebagai anak desa yang sentimental, Marno selalu membawa kenangan semasa kecilnya ke mana pun ia pergi, termasuk kala itu, ketika ia berada di Manhattan. Manhattan adalah salah satu pulau bagian (dari lima) yang membentuk kota New York –paling tidak, begitu menurut Wikipedia.

Saat Marno melihat “lampu-lampu berkelipan di belantara pencakar langit”, seketika ia mengingat pada ratusan kunang-kunang yang berada di sawah embahnya di desa. Ia tidak duduk di dekat jendela itu sendirian, tapi ditemani oleh istrinya, Jane, dan membicarakan banyak hal –yang sebenarnya sudah diceritakan oleh Jane secara berulang-ulang.

Marno mengilustrasikan kunang-kunang itu kepada Jane –yang tidak pernah tinggal di desa- sebagai “lampu saur kecil-kecil sebesar noktah”. Ia pun berandai jika saja ada suara jangkrik mengerik dan suara katak ikut bernyanyi, hatinya akan sedikit lebih senang. Tapi kemudian Jane malah mengatainya sebagai anak desa yang sentimental.

Hubungan mereka memang sedikit ganjil. Jane terus memaksa Marno untuk mengakui jika bulan itu berwarna ungu, dan Marno bersikeras mengatakan jika bulan itu berwarna kuning keemasan; Jane bertanya soal bagaimana keadaan Alaska, lalu ia merasa jika Tommy, bekas suaminya, sedang berada di sana, dan ia tidak mau Tommy kedinginan dan kesepian, dan Marno akan menjawab semua pertanyaan itu dengan penuh perhatian; Jane becerita jika suatu saat, Tommy pernah memberikan boneka Indian yang cantik, lalu di lain waktu, mengajaknya ke Central Part Zoo –sedang mereka (Jane dan Marno) belum pernah ke sana, dan Marno mendengar cerita yang terus diulang itu dengan sabar. Hingga sampai pada satu pertanyaan yang cukup menyentak, “Aku membosankan, ya, Marno? Mem-bo-san-kan.” Tapi setelah itu, Jane banyak bertanya dan bicara lagi soal mainan, boneka dan piyama.

Seperti kata Eka Kurniawan dalam kata pengantar kumpulan cerpen ini, Umar Kayam tak hanya seorang pendongeng yang melaporkan satu kepingan peristiwa, tapi juga menjadikan kita –pembacanya- sebagai teman bicara. Eka memberi judul catatannya: Teman Ngobrol.

Barangkali benar kata seorang filsup –yang saya lupa namanya- bahwa kebebasan membawa seseorang pada kesepian. Semakin ia bebas, maka semakin ia akan merasa kesepian; karena kebebasan mensyaratkan melepaskan segala ikatan dengan yang berada di sekitarnya. Itulah yang terjadi di Amrik sana –dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Dan saat kita sedang merasa kesepian, maka yang kita dibutuhkan adalah kenangan.

Kita bisa merasakan nada getir kesepian itu dari Jane yang terus mengulang cerita saat bersama mantan suaminya dulu, atau dari Marno yang membayangkan kelap-kelip lampu di Manhattan seperti seribu kunang-kunang –yang menandakan jika ia merindukan keramah-tamahan suasana desa. Orang-orang desa tentu menjadikan ngobrol sebagai ritual keseharian mereka, entah saat di pos ronda, di warung, atau di mesjid sekali pun –yang tidak bisa ia dapatkan saat di Amrik sana.

Yang dibutuhkan Jane tentu hanya bicara, terus bicara, apa pun itu. Seperti dalam ucapannnya, “Tapi Marno, bukankah aku harus berbicara? Apa lagi yang bisa kukerjakan kalau aku berhenti bicara? Aku kira Manhattan tinggal lagi kau dan aku yang punya. ...kalau dua orang terdampar di satu pulau, mereka akan terus bicara sampai kapal datang, bukan?”

Kebebasan membawa kita pada kesepian, dan kesepian akan membawa kita pada kenangan. Syukurlah jika kita masih punya kenangan, paling tidak ia akan menyelamatkan kita ketika sedang kesepian. Tapi sialnya, kita masih saja mengagungkan kebebasan –atau barangkali hanya saya?

 

 

Komentar