Kisah ini dituturkan oleh pembual ulung bernama Warto
Kemplung, di warung kopi pinggir hutan jati. Warto Kemplung tentu bukan nama
asli, hanya semacam julukan karena ia suka menyebarkan cerita bohong yang dilebih-lebihkan
‒paling tidak, begitulah menurut pendengarnya. Ia pun membuka cerita dengan
begitu memikat, tidak kalah dengan seorang sastrawan yang sudah terkemuka:
“Ini kisah yang sebenarnya belum lama terjadi. Sebuah
kisah kelabu penuh darah. Hanya seumuran dua kali coblosan lurah; tidak
berselang lama dari saat, untuk pertama kalinya di daerah sini, Golkar menang
dari Pertiga dengan mudah. Tapi karena aku tahu orang-orang macam apa kalian
ini ‒makhluk-makhluk malang dengan kemampuan mengingat sependek ikan sepat‒
jadi mari kita mulai saja dari apa yang baru-baru ini terjadi.”
Cerita pun dibuka dengan mengenalkan nama tokoh
Muhammad Dawud, tapi karena sejak kecil ia begitu kumal, kumuh dan tak terawat,
maka ia pun dipanggil Dawuk, sebuah panggilan orang Rumbuk Randu untuk kambing
yang berbulu kelabu. Mat Dawuk pun digambarkan sebagai sosok yang buruk rupa,
berprofesi sebagai pembunuh bayaran, lalu lahir dari keluarga yang suka mencuri
kayu jati ‒dalam hal ini berarti yang suka melanggar aturan pemerintah.
Ketiga pandangan buruk itulah yang menyebabkan Mat
Dawuk begitu ditakuti, sekaligus ingin dienyahkan kehadirannya dari muka bumi
ini ‒atau paling tidak dari hadapan mereka. Setelah perantauannya ke Malaysia,
Mat Dawuk malah kembali lagi ke Rumbuk Randu dengan menggandeng Inayatun
(wanita cantik yang sempat menjadi impian kebanyakan para lelaki dan suami) dan
mengenalkan istrinya.
Pertemuan Mat Dawuk dengan Inayatun nyaris seperti
kebetulan. Inayatun sedang duduk di stasiun kecil di Kuala Lumpur dengan wajah
ketakutan, dan saat itu Mak Dawuk yang hendak lewat menyapanya. Karena berasal
dari desa yang sama, membuat pertemuan mereka tidak memerlukan banyak
basa-basi. Inayatun pun langsung menangis histeris, dan Mat Dawuk pun langsung
menerka jika Inayatun sedang membutuhkan pertolongan, walau ia kelimpungan
mesti berbuat apa karena ia tidak terbiasa dengan seorang perempuan, terlebih
perempuan yang sedang menangis.
Mat Dawuk pun nyaris tidak berbuat apa-apa, hanya
menunggui tangisan Inayatun reda di kursi yang berjarak, dan memandanginya
dengan wajah bersahabat ‒walau tidak menolong wajah buruk rupanya. Setelah
setengah jam berselang, datang seorang lelaki celingak-celinguk seperti sedang mencari
seseorang, dan setelah mendapati Inayatun sedang duduk di kursi, maka amarahnya
pun semakin membara. Tapi dengan sigap Mat Dawuk menghalanginya. Lalu
terjadilah perkelahian yang bisa dimenangkan dengan mudah oleh Mat Dawuk.
Awalnya Inayatun mau ikut dengan Mat Dawuk hanya
karena ia merasa aman saja di dekatnya, tapi setelah ia merasa dan menyaksikan
sendiri bagaimana perangainya ‒di balik wajah buruk rupa dan profesinya sebagai
pembunuh bayaran, Mat Dawuk pun punya hati yang belum di isi‒ maka dengan suka
rela ia menyerahkan hidupnya untuk mendampingi Mat Dawuk, lalu mengajak ia
menikah. Awalnya Mat Dawuk ragu, tapi setelah dibujuk hingga sedemikian rupa,
akhirnya Mat Dawuk mau juga. Sejak saat itu Mat Dawuk pun berjanji tidak akan
pernah membunuh lagi, walau mempunyai seribu alasan untuk melakukannya.
“Mat membuat Inayatun lebih tenang dan bisa
mengendalikan diri, sedang Inayatun menuntun Mat keluar dari kesepian dan
kemurungannya selama ini.” Begitu penjelasan bagi yang berpandangan jika Dawuk
dan Inayatun adalah pasangan yang ganjil. Setelah tujuh bulan kebersamaannya,
mereka pun memutuskan untuk pulang ke Rumbuk Randu, dengan harapan mendapat
kehidupan yang lebih baik. Tapi yang terjadi adalah sebaliknya.
Setibanya di Rumbuk Randu, tentu yang pertama terjadi mereka
jadi bahan ghibah dan fitnah. “Tapi mereka tak goyah oleh badai, tak basah oleh
hujan, tak kering oleh panas terik. Mereka tidak akan ke mana-mana. Hanya di
Rumbuk Randu.” Begitulah ikrarnya, walau pernikahan mereka tidak direstui oleh Pak
Imam (ayah Inayatun). Dengan terpaksa ‒setelah diancam akan menggelar tikar di
depan masjid atau mendirikan tenda di depan balai desa, Pak Imam menyerahkan
gubuk bekas kandang sapi untuk mereka renovasi, lalu ditinggali.
Di rumah bekas kandang itulah kisah cinta mereka
semakin bersemi, walau dibersamai dengan kenyataan-kenyataan yang ganjil ‒dan
hanya bisa kalian dapati saat membaca novelnya. Lalu tibalah kita pada filosofi
yang paling banyak dikutip orang: kebahagiaan itu bagai secangkir kopi.
“Ya, inilah kebahagiaan. Seperti kopi, cepat atau
lambat, ia akan habis. Semakin enak, ia akan semakin cepat habis. Ya, ya,
kadang kita ingin berlama-lama menikmatinya, menghirupnya sedikit demi sedikit,
mencecapnya lama di lidah, memainkannya sedikit di langit-langit, mengumurnya
pelan-pelan, tak ingin buru-buru menelannya. Tapi, tahu-tahu, begitu kita longok
ke dasar cangkir, yang tersisa tinggal ampas. Ia sudah tandas.”
Bab ini menandai jika kisah yang membahagiakan akan
segera habis, lalu dilanjutkan dengan kisah yang begitu kelabu, dan bab ini
berada di satu pertiga dari keseluruhan novelnya. Artinya, dua pertiga
selanjutnya akan hadir cerita yang bisa membuat saya mengutuk atas prasangka
saya sendiri terhadap orang-orang macam Mat Dawuk.
Cukup saya kutipkan langsung judul-judulnya saja,
supaya catatan tak penting ini tidak terlalu panjang. Judul-judul setelah bab
ini adalah: Tak Ada Lagu yang Bisa Mewakili Kesedihan ini; Kelabu; “Terus,
Gimana Nasib Mat?”; Rumbuk Randu; Mat Dawuk Mati!; Ketika Muazin Tengah Meniupi
Mikroponnya…; Mat Dawuk Harus Mati, Sekali Lagi!; Kemunculan Kembali Dulawi;
Dendam Tiga Turunan; dan seterusnya. Walau Mat Dawuk berkali-kali coba dibunuh,
tapi Mat Dawut tetap setia pada janji yang ia ucapkan kepada istrinya ‒walau
saat itu istri dan anak yang sedang dikandung istrinya sudah mati, bahwa ia
tidak akan lagi membunuh walau memiliki seribu alasan untuk melakukannya.
Mat Dawuk pun dipenjara karena dituduh membunuh
istrinya dan Mandor Har, tapi tak terbersit dalam hatinya untuk melakukan balas
dendam. Walau begitu, ia tetap saja dituduh sebagai pambunuh Blandong Hasan
selepas ia bebas dari penjara, dan ia pun diamuk massa untuk ke sekian kalinya,
lalu dibakar hidup-hidup bersama rumah gubuknya yang bekas kendang itu. Tapi
sialannya, Warto Kemplung yang menceritakan kisah penuh bualan ini,
menceritakan jika ada sebersit cahaya putih yang mungkin saja menyelamatkan
hidup Mat Dawuk. Kisah pun berakhir disertai dengan rutukan para pendengarnya
di warung kopi pinggir hutan jati.
Dalam buku kumpulan esai “Cerita, Bualan, Kebenaran”
yang ditulis oleh nama yang sama dengan penulis novel Dawuk ini, Mahfud Ikhwan,
ia menerangkan jika hal penting yang ingin ia sampaikan lewat novel ini adalah:
“Kita adalah bangsa yang menyimpan amarah. Dan sebagian besar amarah itu tak terjelaskan, tak memiliki cukup alasan dan sasaran… maka satu-satunya justifikasi yang membenarkan dan membuat amarah itu beralasan adalah kemarahan yang sama milik orang lain. Maka, kemarahan itu menjadi kemaharan kolektif, dan tak ada hal yang bersifat kolektif yang tidak ‘benar’… Dawuk adalah gambaran paling komplit tentang anomi, mulai dari fisik, perilakunya, hingga sejarah keluarganya… Dan karena itulah, sosok macam Dawuk menjadi kalangan yang paling rentan menjadi sasaran.”
Komentar
Posting Komentar