Kisah Cinta yang Tak Tuntas

 



 Coba kalian lihat pemuda yang sedang murung itu! Matanya sembab, bibirnya kering, rambutnya kumal karena belum keramas selama tiga kali putaran bulan. Dan yang lebih mengkhawatirkan lagi, ia baru saja berdoa, “Ya Allah, hidupkanlah aku selama kehidupan ini lebih baik bagiku, dan wafatkanlah aku jika sekiranya itu lebih baik bagiku.”

Jika kalian bertanya, ada apa gerangan dengan pemuda itu? Dan jika kujawab itu hanya karena perkara cinta, tentu kalian akan geleng-geleng kepala, dan mungkin juga disertai umpatan: “dasar cengeng!”

Tapi tahan dulu, ceritanya baru mulai.

~

Sebenarnya tokoh kita ini bukan seorang pemuda yang mudah patah semangat, yang dikit-dikit nangis apalagi sampai minta mati. Sejak sekolah dasar ia sudah jauh dari ibu dan bapaknya -ibunya mencari nafkah di negeri seberang, sedang bapaknya merantau ke kota-, dan ia besar diasuh oleh kakeknya dengan segala keterbatasan. Singkat kata, ia sudah tahan dengan satu sisi penderitaan.

Begitu pun dalam perkara cinta, itu bukan hal baru lagi baginya. Pemuda yang satu ini pernah ditolak mentah-mentah oleh seorang putri guru, atau oleh anak calon kepala desa, atau juga oleh anak tetangganya sendiri. Ia pun sempat merajut cinta dengan anak penjual tahu, yang lalu kandas karena… entahlah ia pun tak mengerti dengan alasannya itu.

Dan tentu masih banyak lagi cintanya yang tak bisa ia ungkapkan. Dan selama itu ia baik-baik saja; ia sudah hafal bahwa cinta dan patah hati itu satu tarikan nafas.

Namun kisah kali ini baginya begitu sangat berbeda.

~

Laila, begitu perempuan itu disapa. Tokoh kita ini mengenal Laila pada saat hari Raya Lebaran. Waktu itu Laila sedang asyik bersalam-salaman di rumah tetangganya dengan mengenakan kerudung panjang warna biru langit. Setiap kali hendak bersalaman, Laila selalu tersenyum, dan karena senyumannya itu membuat tokoh kita ini jadi sering terganggu.

Bukan hal yang mudah untuk tokoh kita ini bisa berkelanan dengan perempuan. Dalam riwayat cintanya, semua perempuan yang menjadi sasaran tembaknya ada mereka yang satu kelas dengannya, yang mau tak mau mereka pun harus rela kenal dengannya. Tokoh kita pun tak akan berharap banyak pada gadih cantik nan shalihah yang bernama Laila itu.

Tapi dunia penuh dengan keajaiban.

~

Tokoh kita itu bernama Nahaar. Biasa dipanggi Buyung oleh kakeknya. Alasannya, karena mulut kakeknya itu lebih mudah melafalkan Buyung ketimbang Nahaar. “Bikin nama itu jangan bikin repot mulut.” Begitu kakeknya berpetuah, “tapi kapan kau akan memberi nama pada anakmu?” tambah kakek itu, dan Nahaar hanya bisa membatin.

Kita tidak usah ikut-ikutan dengan memanggil tokoh kita ini sebagai Buyung, panggil ia saja Nahaar.

Nahaar sedang duduk manis di beranda rumah kakeknya. Ia sudah mendapat kabar bahwa ibu dan bapaknya tak akan pulang, jadi ia tak usah menyiapkan sesuatu untuk menyambut mereka, dan saat hendak pergi ke ladang, ia dicegah oleh kakeknya, katanya itu tak baik dilakukan di Hari Raya. Dan Laila pun datang. Tokoh kita gemetar.

“Kok melamun? Tak baik lho untuk pencernaan. Apalagi ini Hari Raya.” sapa Laila.

Jika kalian ditanya seperti itu oleh orang yang baru kenal, cantik pula, kalian mau jawab apa, heh? Apa kalian akan menjawab bahwa tidak ada korelasinya antara melamun, pencernaan dan Hari raya?

Tak perlu tau apa yang dijawab Buyung, eh Nahaar, pokoknya setelah itu mereka menjadi akrab, walau pun jawaban dan tangkah tokoh kita ini sering memalukan. Nahaar gembira, Laila pun sering tertawa, itu yang penting.

Dan keajaiban itu muncul di hari ke empat setelah Lebaran: Laila menyatakan rasa sukanya pada Buyung. Astagfirullah, pada Nahaar.

Jika kalian menganggap bahwa itu terlalu ajaib -bahkan untuk cerita fiktif macam begini, baiklah, akan saya kemukakan alasan Laila berbuat macam begitu. Laila hidup dalam keluarga yang bahagia, maksudnya punya ayah dan ibu yang dekat dengannya, juga punya kakak yang walau pun kadang menyebalkan, tapi perhatian jika ia sedang sedih. Laila mencari sosok yang tegar, yang tidak akan ikut termehek-mehek jika kehidupan sedang tidak ramah padanya, dan setelah mengenal dan mencari tahu soal Buyung, Laila tau bahwa Buyung adalah orangnya.

Jika kalian bertanya kenapa secepat itu? Itu karena di hari ke lima Laila harus kembali ke kota, dan tak tau akan punya kesempatan lagi kapan kalau bukan waktu itu.

Oke baiklah, selanjutnya tokoh kita ini akan dipanggil Buyung, tapi tetap masih bernama Nahaar, ya! Mulut memang tak bisa dibohongi.

Jika kalian masih merasa tak habis pikir dengan apa yang dilakukan Laila, maka berhentilah bersikap iri macam begitu. Buyung memang beruntung, titik, kalian bisa apa? Kalian yang sudah jungkir-balik mengejar-ngejar cinta, tapi tertolak pula, maka bersabarlah. Disertai sedikit nangis juga tak apa, asal jangan minta mati saja, malu dong sama Mas Pur.

~

Laila pulang ke kota, dan Buyung berkaca pada diri sendiri; maka mulai rajin kembali lah ia pergi ke surau. Surau itu sepi saja, hanya dikunjungi tiga sampai tujuh orang setiap harinya. Anak-anak memang sudah tidak belajar mengaji lagi di surau, tapi di madrasah, dan susahnya minta ampun mengajak mereka untuk salat di surau.

Sehabis salat, Buyung membuka Al-Quran yang sudah lusuh di sela-sela mimbar, lalu mulai mengejanya. Buyung masih hafal cara mengeja Bahasa Arab, walau tidak lancar betul. Dulu sewaktu kelas 6 sekolah dasar, Buyung sempat mengkhatamkan baca Al-Quran, walau tidak disertai terjemaahnya, apalagi tafsir. Dan untuk ukuran anak desa, itu adalah sebuah prestasi.

Buyung membaca Al-Quran dari magrib sampai isya, dan selama itu, ia hanya mampu membaca satu halaman saja, dan dimulai dari surat Al-Fatihah. Di hari ke 25, baru juga membaca satu baris, Buyung berhenti. Mulutnya seolah jadi kaku, jantungnya mulai berdetak abnormal, dan sekujur tubuhya dihantui rasa penasaran. Dengan keberanian yang diada-adakan, Buyung menghampiri Pak Ustaz yang sedang duduk di pojok surau sambil memindah-mindahkan biji tasbih.

“Staz mau tanya, ini apa artinya?” tanya Buyung sambil menunjuk kata Laili wa nahaari.

Ustaz itu mengambil Al-Quran yang dipegang Buyung, lalu mencermati kata yang ditunjukkan Buyung. Dahinya mengkerut, dan ingatannya mulai bereaksi.

“Oh ini, ini artinya malam dan siang. Jadi malam dan siang itu Allah ciptakan sebagai tanda kebesaran-Nya.” jawab Pak Ustaz. Buyung mengangguk dan mengucapkan banyak terimakasih.

Duh, jadi nama Nahaar itu diambil dari Bahasa Arab yang berarti siang, lalu Buyung berasal dari bahasa apa, Kek? Apa pula artinya?

~

Laila baru akan menemui Nahaar setelah dua bulan kepulangnya ke kota. Namun baru juga satu bulan setengah, Laila sudah duduk manis di beranda rumah saudaranya, tetangga kakek Nahaar –mungkin ia tak tahan menahan rindu. Kontan saja itu membuat Nahaar kaget, ada rasa tak percaya, sekaligus bahagia.

Walau Nahar sudah pontang-panting berbenah diri, tapi tetap ada ada rasa tak percaya diri untuk bersanding dengan Laila. Ada identitas yang tak bisa ia hilangkan begitu saja, ada satu sisi yang tak bisa ia tutup-tutupi kepada dirinya sendiri.

Ingin diakui sebagai pria sejati, kali ini Nahaar berencana yang akan menghampiri Laila terlebih dahulu, bukan sebaliknya. Tapi baru juga Nahaar beres mandi, Laila sudah ada di beranda rumah kakeknya, sedang berbicara dengan kakek Nahaar.

“Buyung cepetan! Wanita secantik ini kok dibiarkan menunggu, keturunan siapa kau ini sebenarnya, heh?” teriak kakek Nahaar.

Nahaar gresa-grusu ganti pakain, dan tanpa bersisir terlebih dulu, ia pun menghampiri Laila. Nahaar percaya bahwa Laila tak akan menyoalkan bagaimana bentuk wajahnya.

“Aduh Buyung… kita ini masih mampu beli sisir. Jangan terus-terusan memalukan kakek!” komentar kakek Nahaar lagi, dan tentu saja Nahaar tak peduli.

Kakek Nahaar sudah pergi, dan sekarang tinggal mereka berdua. Eh bertiga, dengan Tuhan.

~

Setelah membaca surat Al-Baqarah ayat 164, Nahaar yakin bahwa Laila adalah jodohnya yang sudah disiapkan oleh Tuhan. Nama Laila dan Nahaar disebut beriringan dalam ayat tersebut, dan disinyalir oleh Nahaar, bahwa mereka adalah pasangan yang sudah ditakdirkan untuk bersatu. Namun setelah gagasan itu ia ungkapkan kepada Laila, Laila malah membantahnya, dan membuat hubungan mereka menjadi retak.

“Di mana ada siang, di situ tak akan ada malam. Di mana ada kamu, seharusnya di situ tak ada aku.” tutur Laila. Ingin sekali Nahaar menangis mendegar ucapan itu, tapi ia tak secengeng kalian.

“Kita memang sepasang kekasih, sampai kapan pun. Tapi sampai kapan pun, kita tak akan pernah bisa bersatu. Karena kamu siang, sedang aku malam.” tambah Laila.

“Hanya karena persoalan nama saja kah, kita tak bisa bersatu?” tanya Nahaar, dengan sedikit gagu.

“Hanya karena persoalan nama juga, kau sangat yakin bahwa aku ini jodohmu.”

~

Nahaar duduk terpekur di dapur, memeluk kedua lututnya, menyederkan bahunya ke tiang. Matanya sembab, bibirnya kering, rambutnya kumal karena belum keramas selama tiga kali putaran bulan. Dan yang lebih mengkhawatirkan lagi, ia baru saja berdoa; “Ya Allah, hidupkanlah aku selama kehidupan ini lebih baik bagiku, dan wafatkanlah aku jika sekiranya itu lebih baik bagiku.”

Tapi apakah Laila sungguh-sungguh dengan ucapannya, atau hanya sekedar bercanda? Apakah hanya karena ingin memberi pelajaran kepada Nahaar –yang secara serampangan memahami teks Al-Quran- lantas Laila bertingkah semenyakitkan itu? Atau ada alasan lain yang sedang ia tutup-tutupi? Apakah Nahaar akan percaya begitu saja dengan alasan yang diberikan Laila?

Tentu kalian masih ingat dengan judul cerita ini, kan? Ya, kisah cinta yang tak tuntas. Maka kalian jangan harap akan mendapat jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu. Atau jika kalian ingin mengimajinasikan sendiri bagaimana kisah selanjutnya, silakan, kalian boleh tentukan bagaimana akhirnya.

Tapi jika kalian ada diposisi Nahaar, apa kalian akan langsung ganti nama menjadi Nujum? Lalu setelah itu berucap pada Laila, “Di situ ada malam, di situ juga ada bintang; di situ ada kamu, di situ pula ada aku.”

Hahaha. Kalian pikir cinta sebercanda itu!

 

Komentar