Sebelum berangkat ke sawah, Bewok mampir dulu di warung Bi Ati untuk kasbon sebungkus rokok kretek. Kali ini Bewok kasbon dengan cukup percaya diri, karena ia sudah bisa memastikan jika pekerjaan untuk satu minggu ke depan akan sangat banyak, dan dengan segera ia bisa melunasi semua hutang-hutangnya. Jika tidak terlalu boros merokok, bisa saja hari itu Bewok tidak kasbon dulu, toh yang punya tanah akan memberinya rokok dan kopi tiap kali jam istirahat. Tapi ia merasa sebatang tiap jam istirahat itu masih kurang. Mulutnya masih nagih, dan mulutnya akan terasa asam jika tidak dituruti.
Hari itu Bewok akan bekerja di sawah milik Pak Kohar untuk memanen. Ia berharap pagi itu cerah, supaya ia bisa lancar bekerja dan gabah basah yang baru dipanen itu bisa langsung dijemur oleh pemiliknya. Namun yang terjadi malah sebaliknya. Pagi di bulan Febuari memang sulit untuk diprediksi. Tapi ada yang diuntungkan dari cuaca tersebut, yaitu Pak Ahmad yang sawahnya sedang dibajak. Saat membajak sawah, petani memang membutuhkan banyak air, maka bersykurlah Pak Ahmad dengan cuaca pagi itu yang mendung.
Bewok bekerja sambil membawa istrinya, Sumiati. Mereka bagi-bagi tugas. Sumiati yang mengarit tiap dapuran padi itu yang lalu disimpan di pematang sawah, Bewok yang mengumpulkan padi yang sudah dikumpulkan istrinya yang lalu digebuk untuk memisahkan biji padi dari tangkainya. Kalau anaknya yang sudah duduk di bangku SMA itu mau membantu, tentu pekerjaan mereka akan sedikit terbantu. Bewok bersyukur, paling tidak sampai jatah makan pertama itu datang, hujan tak kunjung turun juga, hanya awan hitam yang menggulung menyelimuti kampung itu dari paparan sinar matahari.
Nasib malang itu menimpa setelah mereka berdua selesai makan. Hujan awalnya turun rintik-rintik, tapi lambat laun membesar juga. Bewok dengan segera menutupi padi yang sudah ia kumpulkan dengan terpal. Sepasang suami istri itu pun berteduh di bawah pohon nangka. Memang masih ada tetesan air yang menimpa topi dan caping yang dipakai istrinya, tapi itu sedikit lebih baik dari pada berteduh di bawah pohon randu yang amat jarang daunnya. Jika Bewok sedang mencangkul, tentu ia akan sedikit gembira bila bekerja sambil diguyuri air hujan. Air hujan bisa membasuh keringatnya yang keluar. Saat memanen padi, tentu ia tak bisa melakukan itu, atau ia tidak akan dipekerjakan lagi oleh yang punya lahan.
Di bawah pohon nagka itu Sumiati mulai bercerita kepada suaminya bagaimana kalau mereka mengikuti Bank Emok. Mereka bisa pinjam uang sebesar dua juta, lalu tiap minggunya mereka harus membayar sebesar lima puluh ribu, dan dilakukan selama lima puluh minggu. Uang dua juta itu Sumiati rencanakan untuk membeli televisi baru karena yang lama sudah rusak, lebihnya untuk membeli kebutuhan dapur yang lain. Bewok sedikit keberatan dengan rencana istrinya. Ia belum yakin bisa menyisihkan uang sebesar itu setiap minggunya.
“Rokok Papap juga lebih segitu kan tiap minggunya, masa untuk hiburan Mamam gak bisa? Kalau lagi tidak ada buat setoran, kita pinjam aja ke Bi Ati. Makanya nanti kita lunasi dulu semua hutang kita, biar kedepannya kita bisa pinjam lagi.” Bewok tak bisa mengelak lagi.
Setelah satu jam berlalu, hujan perlahan mereda. Tidak berselang lama sinar matahari menyinari perkampungan itu. Sepasang suami istri itu pun bersiap untuk bekerja lagi. Bewok membuka terpal yang sebelumnya ia selimutkan pada tumpukkan padi, sedang Sumiati mengarit lagi dapuran padi yang masih tersisa.
Azan Zuhur berkumandang dari setiap mesjid yang ada di dusun itu, termasuk dari dusun tetangga. Sepasang suami istri itu tidak meninggalkan pekerjaannya, hanya sedikit jeda untuk mengambil napas yang cukup dalam. Mereka akan benar-benar istirahat jika jatah untuk makan siang datang.
Setelah selesai makan, di bawah pohon nagka itu, Bewok menyuruh istrinya tercinta itu untuk pulang saja. “Biar Papap yang selesaikan semuanya. Mamam pulang saja, lalu ambil air dari Sirah Cai karena persediaan air di dapur sudah habis.” Sumiati mengangguk. Di hari yang masih tersisa itu, Bewok mengambil alih pekerjaan istrinya, mengarit padi yang tinggal dua petak sawah kecil lagi, lalu mengumpulkannya di tempat biasa. Setelah pekerjaan itu selesai, Bewok menutup padi yang sudah dikumpulkan itu dengan terpal, dan berencana akan menggebuknya di malam hari nanti. Sekarang ia butuh istirahat yang agak panjang, paling tidak dari waktu ahsar sampai isya.
Malam ini bulan masih memantulkan sinar matahari dengan cukup baik. Bewok sudah memperkirakannya. Paling tidak malam ini adalah tanggal 16 dalam perhitungan Hijriyah. Yang berkeliaran malam-malam di sawah itu tentu bukan ia sendiri. Itu sudah menjadi kebiasaan di kampung Legokleho. Jika sedang banyak pekerjaan, maka mereka akan mengerjakannya di siang atau pun malam hari. Siapa yang punya tenaga lebih kuat, maka ia yang akan mendapat upah lebih banyak. Dan musim kerja seperti ini hanya tersedia dalam tiga bulan sekali, minus musim kemarau karena kampung itu belum punya irigasi. Sebelum memulai kerjanya, Bewok menyeduh kopi hitam, lalu menyulut rokok kretek. Ia begitu menikmati setiap hisapan rokok maupun seruputan kopi itu, seolah menunjukkan jika itu adalah kemewahan terakhir yang ia miliki.
Bewok baru berhenti bekerja setelah malam melewati pertengahannya. Semua gabah basah sudah terlepas dari tangkainya, tinggal dimasukkan ke dalam karung lalu dipikul menuju halaman depan rumah Pak Kohar. Ia berencana akan melakukan itu nanti pagi setelah matahari sudah terbit. Dini hari ini tenaganya sudah hampir habis. Bewok pun pulang dengan tubuh gontai, lalu membayangkan betapa nikmatnya jika tubuhnya sudah bisa rebah di atas kasur kapuk.
Ayam jantan sudah berkokok mengganggu tidur pulas para petani di Legokleho. Ada yang langsung bergegas ke sawah walau dengan rasa yang sedikit malas, ada pula yang mampir dulu di warung Bi Ati untuk sekedar ngopi dan membicarakan hasil tani mereka masing-masing. Di warung itu juga biasanya berseliweran informasi tentang lowongan-lowongan pekerjaan baru untuk esok pagi. Bewok mampir dulu di warung Bi Ati untuk ngopi dan mencari pekerjaan untuk esok hari, karena pekerjaan di sawah Pak Kohar akan segera ia selesaikan siang ini. Di warung itu, Pak Dasman menawarkan kerjaan untuk Bewok. Bewok menyambut dengan gembira.
Pagi itu di dusun Legokleho sangat cerah. Tak ada halangan untuk mereka yang sedang bekerja memanen. Sebelum azan dhuhur, Bewok sudah memikul semua gabah basah dari sawah ke depan halaman Pak Kohar. Semuanya ada 9 karung. Setelah ditimbang, rerata setiap karungnya berisi 47 kg. Bewok pun memikul satu karung gabah babon -yang setara dengan uang dua ratus ribu, ke rumahnya sebagai upah kerjanya, ditambah uang 45 ribu sebagai upah pikulnya.
Selepas ashar saat Bewok bersantai di warung Bi Ati, Pak Kasman mencari seorang lagi yang mau memikul gabah-gabahnya di sawah sebelah hilir sana. Bewok dengan sigap menyanggupi. Kali ini Bewok memikul gabah itu bersama dua kawannya, Wawan dan Rasman. Karena jaraknya lumayan jauh, maka setiap karung gabah itu diupahi sepuluh ribu. Masing-masing dari mereka dapat jatah 5 karung gabah. Mereka mampu menuntaskan pekerjaan tepat sebelum azan magrib berkumandang. Sore itu Bewok pun masih sempat untuk ikut salat magrib berjamaah di mesjid, walau ketinggalan satu rakaat.
Selepas magrib, anak-anak di Legokleho masih suka belajar mengaji di mesjid. Sambil menunggu waktu salat isya, Bewok biasanya ngopi lagi di warung Bi Ati yang letaknya memang tak jauh dari mesjid. Sedikit-sedikit ia melunasi hutang-hutangnya di warung itu. Dan biasanya ia akan kasbon lagi jika nanti musim paceklik datang.Bandung, Mei
2021
Komentar
Posting Komentar