Terusir dari Rumah Sendiri

 



Judul: Maryam

Penulis: Okky Madasari

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

Jumlah Halaman: 275 halaman

Tahun Terbit: Mei 2021 (Cetakan kelima)

Getir dan tragis. Barangkali dua kata itu yang ingin disampaikan oleh Okky Madasari lewat tokoh Maryam, seorang Ahmadi yang terusir dari kampungnya sendiri.

Dari awal sampai akhir, nyaris tidak ada hal yang patut untuk ditertawakan, atau paling tidak sebuah usaha untuk menjadikannya sedikit parodi dengan menertawakan diri sendiri. Kalau tidak miris, pasti sinis, bahkan untuk kejadian-kejadian yang sepatutnya membahagiakan, seperti pernikahan atau lahirnya Mandalika, anak dari Maryam dan Umar.

Suasana dibikin setegang mungkin ‒dan memang seperti itulah nyatanya, sehingga membuat simpati kita hampir terkuras habis. Jika ada kejadian yang cukup membahagiakan, kita seolah dipaksa untuk bertanya-tanya, akan ada kejadian tragis apa lagi setelah ini. Dan prasangka seperti itu akan terbukti di halaman berikutnya.

Mungkin akan berlebihan jika menyebutkan jika cerita ini hanya mengabadikan sebuah luka, atau untuk memberitahu kita jika di satu waktu, di sebuah wilayah, ada masyarakat yang begitu bengisnya karena sudah mengusir tetangganya sendiri dengan cara yang paling brutal. Tapi ada harapan di dalamnya, jika kejadian yang sama, tidak patut lagi terulang. Ada juga peringatan, jika kebencian, bisa dikendalikan, dan diarahkan sesuai fatwa-fatwa yang punya kuasa.

Dan kita tidak akan lagi merasa bersalah jika itu dilakukan secara bersama-sama, seperti saat kita mengeroyok pencuri ayam, walau tidak ada satu pun hukum yang bisa membenarkan prilaku pengeroyokan tersebut.

Serentan itulah nasib seorang yang berbeda seperti keluarga Maryam yang Ahmadi ‒juga keyakinan lainnya yang minoritas. Kita hanya butuh fatwa ‘sesat’ dari pemerintah untuk mengusirnya, atau bahkan untuk membunuhnya jika masih keras kepala untuk tetap tinggal. Tidak akan ada lagi rasa bersalah, malah mungkin akan merasa menjadi orang yang paling berjasa karena sudah menegakkan agama Tuhan dengan cara yang paling benar.

Lebih sialnya lagi, orang-orang yang mencoba membela mereka (yang minoritas), akan disangka termasuk bagian darinya. Walau ia tidak membela keyakinannya, hanya mempersoalkan caranya, ia pun akan ikut kena seruduk juga. Begitulah yang terjadi dengan tetangga keluarga Maryam yang paling karib. Dan satu-satunya cara untuk mempertahankan keamanannya adalah dengan cara mengikuti gelombang kemarahan mayoritas.

Orang yang melakukan kesalahan, jika diingatkan dengan cara yang buruk, kecil kemungkinan untuk ia bisa menyadari kesalahannya. Dan begitulah yang terjadi dengan orang-orang Ahmadi itu. Semakin kita memperlakukannya dengan buruk, maka semakin yakinlah mereka dengan kebenaran yang dimilikinya.

Karena begitulah sejarah kita menciptakan kebenaran. Ia akan dikucilkan pada awalnya, lalu akan banyak diikuti setelah penggagasnya mati. Semakin terusir, semakin yakinlah mereka sudah berada di jalan yang benar.

Walau Maryam bukan seorang Ahmadi yang militan ‒karena ia sempat keluar dari keyakinannya hanya untuk bisa menikahi seorang lelaki yang bukan Ahmadi, tapi pada akhirnya ia menjadi juru bicara untuk membela hak-hak orang Ahmadi: hidup aman di kampungnya sendiri. Maryam memang tidak kembali lagi menjadi Ahmadi secara keyakinan, tapi ia percaya jika keluarganya sudah berada di jalan yang benar karena diperlakukan dengan cara yang brutal.

Ketika Maryam melahirkan seorang anak, dengan mantap ia memberi nama yang bukan kearab-araban, seperti namanya juga nama suaminya, Umar. Ia menginginkan nama yang berasal dari daerahnya sendiri, Lombok. Dan seperti itulah akhirnya nama Mandalika ditemukan. Tentu dengan sedikit harapan, “tidak apa-apa tidak mengenal agama, asal ia selalu dekat dengan kebaikan.”

Orang yang pesimis terhadap agama, justru lahir karena ada orang-orang yang terlalu yakin dengan agama, tapi menunjukkan keyakinannya dengan cara yang paling barbar.

 

 

Komentar