Tokoh yang Marah Kepada Pengarangnya Sendiri


 Judul Buku                  : Ahwar Tohari Mancari Mati

Penulis                         : Mahfud Ikhwan

Penerbit                       : Marjin Kiri

Tahun Terbit               : Febuari, 2021

Jumlah Halaman         : 205 Halaman

Warto Kemplung datang bertamu lagi. Katanya ia ingin melanjutkan Kisah Kelabu dari Rumbuk Randu. Saya pikir ceritanya sudah usai, tapi akan sangat menyenangkan juga jika cerita itu ada lanjutannya. Saya mempersilakannya masuk. Ia duduk sila di atas karpet yang sudah penuh dengan debu puntung rokok. Saya minta maaf karena tempat saya tinggal begini busuknya, tapi ia tak begitu menghiraukan, karena katanya ia sudah biasa duduk di tempat yang sepuluh kalilipat lebih buruk dari karpet kamarku itu. Saya minta ijin keluar untuk beli rokok dan kopi terlebih dahulu. Ia menyeringai.

“Baik, silakan lanjutkan ceritanya, Mas!” kata saya setelah menyeduh kopi dan menyuguhkan rokok kepadanya.

“Saya sulut rokoknya dulu ya Mas!”

“Oh ya, silakan.”

“Masnya gak mau temani saya merokok? Saya tak enak lho ini.”

Saya pun mengambil satu batang dari satu bungkus yang saya suguhkan, lalu menyulutnya.

“Mulai dari mana ya? Oya, kemarin Masnya masih ingat ceritanya sampai mana?”

Saya menggeleng, saya sudah benar-benar lupa bagian akhirnya, atau mungkin keseluruhan ceritanya. “Dari yang Mas ingat saja.” jawab saya singkat.

Mas Warto menghisap rokoknya cukup dalam, menyemburkan asapnya dengan perlahan, lalu memberi aba-aba untuk memulai ceritanya.

“Oh iya, sekarang tokoh kita bernama Anwar Tohari, atau anggap saja begitu, karena judulnya pun begitu. Anwar Tohari ini pamannya Dawuk, paling tidak itu dari pengakuannya. Kamu pernah membaca novel yang isinya hanya kumpulan surat? Ya begitulah, walau hanya sebagian besarnya. Surat-surat itu dikirim oleh Imam Widjaja untuk Mustofa, bercerita tentang Anwar Tohari yang menurutnya mencari mati.

“Awalnya saya seperti biasa, membual di warung kopi Bu Siti. Saya memang sudah sangat jarang ke sana. Hutan jati sekarang sudah hampir habis, Mas, saya hampir tak punya pekerjaan lagi. Tapi waktu itu kebetulan sedang ada pesanan balok jati yang sudah saya tebang di malam harinya, walau dikit-dikit, tapi lumayang jadi ada pemasukan lagi. Dengan begitu saya pun jadi berani lagi ke warung Bu Siti. Gini-gini saya juga malu Mas jika terus-terusan minta rokok, apalagi ke Mas Wartawan, atau Mas Mustofa itu. Tapi waktu itu, saya Mas yang bayarin kopi dia. Ya sekali-kali kalau saya ada rejeki, saya juga mau berbagi. Walau waktu itu kasbon dulu, tapi paling tidak saya sudah berjanji akan membayarnya nanti sore.

“Nah, waktu itu Mas Wartawan membawa surat-surat yang dikirim sahabat saya, A Pek, atau Imam Widjaja, yang bercerita cukup banyak tentang Anwar Tohari. Saya sebenarnya terkejut dengan adanya surat itu. Tapi saya tak ingin memercayainya begitu saja. Saya telusuri keberadaan Imam Widjaja, tapi tanpa sepengetahuan Mas Wartawan. Soal isi surat-surat itu, sebaiknya Mas baca dari bukunya langsung saja. Agak sulit untuk diceritakan dengan ringkas. Dan satu lagi, sebaiknya jangan dibaca terlalu tergesa-gesa. Setiap selesai membaca satu bab, pastikan rokok yang Mas sulut juga habis. Jika belum, sebaiknya Mas berhenti dulu membacanya, habiskan dulu rokoknya. Cerita itu dituliskan dalam beberapa purnama, masa Mas mau menghabiskannya dalam waktu semalaman?”

Saya mengangguk.

“Oke saya lanjutkan ke cerita Mas Wartawan. Saya tak mengira ia akan terlibat sejauh ini. Ah mungkin karena ia terlalu ceroboh, atau lebih tepatnya bodoh. Tapi saya tidak menyalahkannya, karena saya pun sempat terkecoh. Ya ya, Mas Wartawan jadi ikut terlibat dalam cerita yang ditulisnya sendiri.

“Sejak awal seharusnya Mas Wartawan sudah tahu resiko yang akan dihadapinya. Tapi sepertinya memang ia seseorang yang keras kepala. Mentang-mentang profesi wartawan adalah profesi yang dilindungi pasca reformasi ini, ia bertindak gegabah dengan memercayai orang yang belum dikenalnya sama sekali. Mas juga tahu kan kalau masih banyak wartawan yang kena intimidasi dan kekerasan? Perlindungan taek! Saya juga yang mesti repot.

“Akhirnya saya pun turun tangan untuk menyelamatkan si Mas Wartawan. Paling tidak karena satu alasan, ia tak sepatutnya untuk dilibatkan. Ia hanya pencoleng cerita orang, sedikit mengacaukannya, lalu menambal-nambal bagian yang kurang sesuka hatinya. Kalau di malam itu si Mas Wartawan mati, saya sebenarnya tak begitu keberatan. Toh ia bukan wartawan yang penting, hanya bekerja di koran lokal.

“Tapi syukurnya yang dihadapi Mas Wartawan itu lebih bego dari bapaknya. Ia hanya mampu menodongkan senjata, tanpa tahu cara benar memakainya, hanya mengagulkan kalau itu pistol keluaran terbaik pada masanya, persis seperti yang disombongkan oleh bapaknya. Ia pikir semua orang akan takut kalau ditodong pistol, heh. Dan yang lebih mengkhawatirkan lagi, ia tak percaya dengan karangan yang ditulisnya sendiri, tentang Anwar Tohari. Dan ya, ia sedang berhadapan dengan Anwar Tohari itu.

“Aku tidak membunuhnya, hanya memberi sedikit pelajaran. Tangan ini Tuhan berikan untuk bekerja, bukan untuk balas dendam. Tapi saya juga sedikit terharu, untuk balas dendam, ia sudah melakukan pengembaraan begitu sejauhnya, bahkan harus menulis surat yang begitu banyak. Tapi ya, ia seorang kritikus sastra yang bodoh, walau si Mas Wartawan sedikit mengakui kalau ia penulis yang cukup berbakat melalui surat-suratnya.”

Adzan magrib menggema dari mesjid yang tak jauh dari rumah. Mas Warto menghentikan ceritanya untuk beberapa saat, “denger adzan dulu, ya Mas!” ungkapnya.

Saya mengangguk. “Mau sekalian salat dulu, Mas?”

Mas Warto menggeleng. “Tidak perlu, nanti saja di perjalanan pulang.”

“Lupa bawa sarungnya ya Mas? Saya ada kok, ya walau belum dicuci sekitar dua mingguan.”

“Bukan begitu. Saya Masyumi, oh lebih tepatnya Muhammadiyah. Ya ya, nanti saja dijama’, sekalian waktu perjalanan pulang.”

“Oh begitu. Saya juga orang Persatuan kok Mas.”

Mas Warto tersenyum, sedikit, munkin itu pernyataan yang tak begitu ia harapkan. Atau lebih tepatnya pernyataan yang tidak begitu penting untuk saya ungkapkan.

Adzan sudah selesai berkumandang. Mas Warto mengambil satu batang rokok lagi untuk disulut. Untuk keramah-tamahan pada tamu, saya pun meniru yang ia lakukan.

“Sampai mana tadi?” tanya Mas Warto.

Saya mengingat-ingat, atau lebih tepatnya menskrol tulisan ini ke atas. “Sampai kritikus sastra yang tolol.”

“Ya ya ya, ceritanya sudah habis. Tapi belum benar-benar habis. Masih ada dua bagian lagi. Saya sisakan untuk Saudara baca sendiri. Atau masih terlalu banyak pertanyaan yang ada pada diri Saudara? Ya ya, tidak semua penulis mampu menggembirakan pembacanya, atau benar-benar menuntaskan ceritanya. Percayalah! Jangan terlalu mengharapkan itu terjadi, atau kau akan kecewa berulang kali.”

Saya mengangguk.

Mas Warto pamit. Saya sedikit menahannya, “sebatang dulu lagi lah Mas.”

“Ah tak enak, sudah gelap. Tapi kalau saya bekal tiga batang, gak papa ya Mas?”

Saya mengangguk. Saya pun mengantarnya sampai pintu.  Sebelum Mas Warto benar-benar pergi, saya memberanikan diri untuk bertanya, “apa Mas Mahfud tidak akan marah?”

“Marah untuk apa?”

“Karena saya pinjam nama tokohnya dan saya tirukan gaya berceritanya untuk sedikit saya ulas bukunya.”

“Ah peduli apa sama dia. Ia sudah begitu jahatnya kepada Rukaniyati dan Inayatun.” jawab Mas Warto, dengan nada yang begitu kesal. Soal itu, sepertinya ia marah kepada pengarangnya sendiri.

Mas Warto pun pergi sambil melambaikan tangan.

“Nanti mampir lagi ya Mas!” ucap saya dengan sedikit berteriak.

“Ya ya, kalau si Mahfud itu mau melanjutkan ceritanya.” jawab Mas Warto dengan sedikit berteriak juga. Tak lama kemudian Mas Warto benar-benar hilang dari pandangan saya, dengan begitu cepatnya. Ah, apa ia terbang seperti dalam ceritanya?

Komentar