Pak
Lurah sedang sibuk-sibuknya, sedang tidak bisa diganggu. Ia pergi hampir ke
setiap rumah warganya, dan memeriksa apakah sudah ada bendera merah-putih
berkibar di beranda rumah mereka atau belum. Kalau sudah ada, ya sudah, urusan
selesai. Tapi kalau belum, wah repot ini. Urusan bisa sampai ke balai desa.
Hal
yang tidak pernah diperkirakan Hansip Tanto sebelumnya, ternyata Lurah Usep
memeriksa sampai ke ujung dusun sana, ke ladang yang langsung berbatasan dengan
hutan. Di sana ada satu gubuk kecil yang ditinggali oleh Nenek Marsinah seorang
diri. Awalnya, gubuk tersebut hanya jadi tempat istirahat disaat anak-anak
Nenek Marsinah mengolah ladang, tapi karena Nenek Marsinah tidak begitu betah
tinggal bersama anak-anaknya yang sudah pada menikah ‒dan merasa begitu
merepotkan anak dan mantunya jika tinggal lebih lama lagi, ia pun meminta untuk
tinggal saja di gubuk kecil itu walau cukup jauh dari perkampungan.
Nenek
Marsinah sudah hidup tiga perempat abad lebih, maka hatinya tidak gentar saat
ia memutuskan untuk hidup seorang diri di ujung dusun. Tapi tentu,
permintaannya bukan tanpa penolakkan. Anak-anak dan mantunya membujuk sebisa
mungkin supaya Nenek Marsinah tidak minggat dari rumah mereka, dan dengan
memberi sedikit nada ancaman, “Kalau di sana Nenek meninggal tanpa seorang pun
tahu, bagaimana?”
Tapi
bukan Nenek Marsinah namanya kalau ia luluh dengan bujuk rayu begituan, ia malah
dengan tegas menjawab, “Itu urusan kalian yang masih hidup.” Nenek Marsinah pun
mengemasi barang bawaannya ‒hanya beberapa potong pakaian ganti, lalu pergi
meninggalkan anak dan mantunya yang masih melongo kebingungan.
Setiap
dua hari sekali, anak dan mantunya telah bersepakat untuk bergantian menengok
Nenek Marsinah sambil membawa makanan secukupnya. Jika musim hujan datang,
mereka menengok sambil mengolah tanah yang tidak mungkin bisa diurus oleh Nenek
Marsinah. Hasil dari olah tanah tersebut sebagian mereka simpan di gubuk itu,
sebagian lagi mereka bawa pulang -entah untuk dimasak sendiri atau dijual ke
bandar. Tapi jika di musim kemarau, ladang-ladang itu dibiarkan tandus karena
memang tidak ada cukup air untuk menyirami tanaman mereka. Mereka pun ke ladang
itu hanya untuk menengok Nenek Marsinah saja yang sudah semakin renta. Setelah
beberapa lama, mereka merasa lelah juga, dan mulai mengendorkan kunjungannya
menjadi seminggu sekali, dengan catatan membawa bahan makanan yang lebih
banyak.
Lurah
Usep berjalan dengan cukup tergesa. Dari kejauhan, ia tidak melihat ada bendera
yang berkibar di sekeliling gubuk Nenek Marsinah. Ia pun mulai naik pitam, dan
berjalan lebih cepat lagi supaya kata-kata dari kepalanya tidak keburu hilang
sebelum disemburkan. Dari belakang, Hansip Tanto mengikuti dengan perasaan waswas.
“Mau
ke mana, Pak Lurah? Buru-buru amat.” tanya Tasdikin, pemuda tanggung yang
sedang menggembala domba.
“Kamu
ini, bukannya ikut upacara, malah asyik menggembala.” rutuk Pak Lurah sambil
berjalan terus walau menengok ke pemuda tanggung itu sebentar.
“Tapi
‘kan di depan rumah, sudah saya pasang bendera, Pak Lurah.”
“Nah
nah, bagus itu. Patut dicontoh. Kamu memang pemuda idaman.”
“Wah,
jika saya mau sama anak Pak Lurah, boleh dong?”
“Enak
saja!”
Pemuda
tanggung itu pun tidak menyahut lagi, hanya menggerutu kecil yang tidak mungkin
kedengaran oleh Pak Lurah sambil memonyong-monyongkan mulutnya. Untung saja Pak
Lurah tidak lihat. Kalau lihat, bisa celaka dia.
Kini
Pak Lurah harus melewati sungai kecil yang sudah tidak dialiri air lagi ‒karena
memang begitulah nasibnya jika memasuki musim kemarau, lalu berjalan menanjak
sebelum akhirnya tiba di gubuk Nenek Marsinah. Keringat sudah mulai mengucur di
kening Pak Lurah, dan di baju bagian ketiaknya pun sudah sedikit basah. Pak
Lurah mengambil napas terlebih dahulu dengan teratur, lalu ia mengetuk-ngetuk
pintu gubuk tersebut.
Sudah
tiga kali ketukan dan uluk salam, tapi belum juga ada sahutan. Pak Lurah jadi
bimbang. Ingin sekali ia mengetuk dan uluk salam lebih keras lagi, tapi ia
ingat kata Pak Ustadz Ajat, jika hendak bertamu, maka batas maksimal mengetuk
pintu dan uluk salam itu sebanyak tiga kali, lalu setelah itu jika masih tidak
ada jawaban, maka hendaklah pulang. Cukup lama Pak Lurah mematung, tapi setelah
berbalik badan hendak pulang, ia punya akal. Pak Lurah pun memerintahkan Hansip
Tanto untuk mengetuk pintu dan uluk salam lebih keras lagi, mengeluarkan semua
tenaganya kalau bisa.
Pak
Lurah menunggu dengan cukup tegang. Kata-kata dari kepalanya yang hendak ia
ceramahkan sudah mulai membuyar, dan kini yang tersisa hanya perasaan buruk
saja. Hansip Tanto mengetuk pintu sudah sangat keras. Mungkin itu bukan
ketukan, tapi sudah termasuk gedoran. Tapi setelah tiga kali gedoran, tetap
saja yang punya rumah tidak menyahut.
Mereka
pun saling pandang, seperti sedang memprasangkakan hal yang sama. “Coba dobrak
saja pintunya. Kalau ia pergi, pasti dikunci dari luar. Ini dikunci dari dalam,
berarti ia belum keluar sejak tadi pagi.” Perintah Lurah Usep akhirnya.
“Tidak
apa-apa kalau saya langsung dobrak saja pintunya?” tanya Hansip Tanto dengan sedikit
ragu.
“Di
sini saya Lurahnya, dan sekarang sekaligus akan menjadi saksinya.”
Hansip
Tanto pun mengambil langkah untuk mengabil aba-aba, lalu dengan sekuat tenaga
mendobrak pintu kayu yang sudah sedikit lapuk tersebut. Kunci yang dibuat dari
potongan kayu kecil yang dipaku di bagian dalam pun terlepas, maka terbukalah
pintu itu dengan selebar-lebarnya. Hansip Tanto melongokkan kepalanya ke dalam,
dan dari belakang Lurah Usep mencoba mengikutinya.
Gubuk
tersebut hanya memiliki dua ruangan dan tidak berkaca. Di bagian dapur,
tepatnya di atas tungku, ada satu jendela kecil yang masih tertutup. Bagian
dapur itu masih berlantai tanah, maka Hansip Tanto dan Lurah Usep memasukinya
tanpa harus melepas sepatunya terlebih dahulu. Mereka berjalan dengan
mengendap-endap, seperti seorang maling amatiran yang baru pertama kali hendak
mencuri.
Setelah
menyelidiki ruang dapur dan tidak menemukan yang mereka cari, mereka pun hendak
bergegas ke ruangan tengah yang pintunya hanya ditutupi oleh kain samping yang
dijadikan gordeng. Dengan sedikit gemetar, Hansip Tanto pun menyingkap kain
samping tersebut, dan setelah melihat apa yang ia takutkan, ia pun dengan
segera menutup lagi kain gordenganya. Lurah Usep yang belum sempat melihat
apa-apa, menyentil kuping Hansip Tanto, yang lalu ia pun memerintahkan supaya
menyingkapkan gordeng tersebut lebih lama lagi. Hansip Tanto pun menuruti
perintah Lurah Usep, walau pandangannya sendiri ia alihkan menuju tumpukkan
kayu bakar yang berada di pinggir tungku.
~
“Kalau
aku tidak mengecek setiap rumah, nenek itu bisa lebih lama lagi mati tanpa
diketahui, To!” ucap Lurah Usep setelah menggelar tahlil.
“Pak
Lurah ke sana karena tidak melihat bendera di depan rumahnya, ‘kan? Coba kalau
aku suruh dia pasang bendera, Pak Lurah tidak akan pergi ke sana, cukup memeriksanya
saja dari kejauhan, setelah itu pulang.” jawab Hansip Tanto tak mau kalah.
“Aku
bisa mengabaikannya perintah itu kalau aku mau. Aku tetap pergi ke sana karena
sejak malam aku sudah punya firasat buruk, To.”
“Firasat
gimana, Pak Lurah?”
“Firasat
itu sulit dijelaskan, To. Seperti panggilan batin gitulah.”
“Terus?”
“Apanya
yang terus?”
“Kenapa
Pak Lurah memanggil Kasim dan Taryana ke balai desa?”
“Ah,
kalau itu, hanya untuk memberi mereka arahan saja.”
Hansip
Tanto pun manggut-manggut saja.
17 Agustus 2021
Komentar
Posting Komentar