Pak Guru Kami

 


Pagi sudah tiba. Sekarang waktunya Pak Guru menyeduh kopi sebelum berangkat ke sekolah. Waktu terbaik adalah waktu pagi, gumamnya dalam hati. Paling tidak, Pak Guru merasakan kesegaran udara di waktu itu, sambil sedikit bersantai dengan meminum kopi dan membaca koran. Oh ia lupa, jika ia sudah tidak berlangganan koran lagi. Ia sudah terbiasa membaca berita lewat gawai. Maka sekarang Pak Guru menikmati paginya dengan meminum kopi sambil bermain gadget.

Setelah matahari mulai muncul di ufuk barat, Pak Guru mulai memanaskan motor matiknya yang baru ia kredit tiga bulan lalu. Tentu awalnya Pak Guru tidak mau kredit mengkredit motor, menurutnya itu riba, dan riba itu haram. Tapi Pak Guru sudah tak tahan dengan ocehan istrinya yang saban hari suka mengejek Astrea bututnya.

“Barang rongsokkan gitu masih dipake toh Pak. Coba dengar suara knalpotnya, bikin pusing saja.”

“Ya sabar dong Bu, tabungan kita kan masih belum cukup.”

“Kapan mau cukupnya, gajinya juga tidak bertambah-tambah.”

Setelah Pak Guru memberanikan diri untuk mengkredit motor, ocehan istrinya tentang motor butut itu sudah berhenti, namun berganti kepada ocehan yang lain.

“Duh, pegel Pak kalau tiap hari nyuci di kamar mandi, sepertinya enak kalau punya mesin cuci sendiri.”

~

Pak Guru berangkat ke sekolah satu jam sebelum bel masuk berbunyi. Normalnya perjalan itu biasa ditempuh dengan setengah jam, tapi kadang ada hal-hal yang mengejutkan yang bisa saja terjadi kepada motornya, seperti bannya bocor atau mesin motornya mendadak mati. Itu kebiasaan saat ia mengendarai motor Astrea. Walau kini sudah berganti motor, tapi kebiasaan itu terus ia terapkan.

Di sekolah sudah ada satpam dan Pak Kepala Sekolah, lalu ada dua orang alumni yang dipekerjakan untuk beres-beres. Pak Guru pergi ke dapur, lalu menyeduh kopi lagi. Kalau saat di rumah menyeduh kopi sambil bermain handphone, di sekolah ia menyeduh kopi sambil mengobrol dengan Pak Kepala Sekolah, tentu sambil merokok juga.

“Katanya si Ridwan bikin ulah lagi di kelas. Kamu harus bisa memberi perhatian lebih kepadanya.” ujar Pak Kepala Sekolah.

“Iya, Pak, selalu saya usahakan.” jawab Pak Guru kita sambil memberi anggukan kepala tanda memerhatikan dengan sangat.

“Si Siti juga katanya sudah tiga hari tidak masuk. Tidak ada pemberitahuan. Coba kamu tanyakan kepada teman-temannya.”

“Oke, Pak!

“Terus si Samsul, katanya kemarin kabur lewat tembok belakang. Kalau hari ini masuk, kamu panggil dia, lalu beri sedikit pelajaran.”

“Iya, Pak!

“Sebentar lagi ujian, pastikan semua pelajaran sudah disampaikan. Pastikan juga anak-anak memahaminya.”

“Siap, Pak!

“Tugas kita adalah menyampaikan, memberi contoh dan membimbing.”

“Mengerti, Pak!

~

Bel sudah berbunyi, Pak Guru bersiap untuk masuk ke kelas. Setibanya di depan kelas, anak-anak masih sibuk sapu-sapu dan sapa-sapa. Pak Guru kita menunggu dengan sabar sampai semuanya bersih. Ada beberapa murid yang menghampirinya, lalu mengulurkan tangan tanda ingin bersalaman, sedang beberapa lagi mengabaikannya.

Ritual pertama yang biasa dilakukan Pak Guru bersama murid-muridnya adalah berdoa, lalu setelah itu Pak Guru mengabsen. Ia memanggil satu persatu muridnya. Ada beberapa orang yang sakit, ada satu orang yang bolos. Setelah itu Pak Guru menyampaikan materi yang sudah ia persiapkan sejak malam.

Hanya sepuluh menit saja kelas itu berlangsung kondusif, setelah itu berbagai macam akrobat dilakukan oleh murid-muridnya, entah saling lempar kertas atau menghardik temannya yang berisik tapi hardikannya itu lebih berisik dari yang berisik.

Tentu kita patut menyalahkan Pak Guru yang tak pandai mengontrol keadaan kelas. Harusnya ia bisa menyampakan materi lebih menarik lagi supaya murid-muridnya bisa dengan khusu mendengarkan. Atau ia bersikap lebih tegas sedikit kepada murid-murid yang mengacau.

“Tidak ada murid yang salah. Jika ada murid yang  bandel, itu mutlak kesalahan gurunya.” pepatah Pak Kepala Sekolah saat upacara bendera.

Di kelas itu, Pak Guru lebih sibuk mendisiplinkan murid-muridnya ketimbang menyampaikan materi yang sudah ia siapkan sesuai kurikulum. Sempat ia berputus asa, bagaimana bisa ia mengajari beberapa orang yang tidak mau belajar. Tapi sekali lagi ia ingat pepatah Pak Kepala Sekolah itu, “tidak ada murid yang salah”. Materi terus ia sampaikan, entah akan diterima atau tidak, entah murid-murid itu menyukainya atau tidak.

~

Saat istirahat tiba, Pak Guru memanggil beberapa orang yang biasa bikin keributan sesuai dengan janjinya kepada Pak Kepala Sekolah. Mereka adalah Ridwan, Samsul, Pian dan Dilan. Walau mereka berbeda kelas, tapi mereka satu geng, begitu informasi yang didapat oleh Pak Guru kita dari siswa lain. Pak Guru pun mulai berbincang-bincang dengan mereka.

“Cita-cita kalian apa?” tanya Pak Guru kalem.

“Jadi pembalap” jawab Ridwan.

“Jadi konten kreator” jawab Samsul.

“Jadi atlet e-sport” jawab Pian.

“Menikahi Milea” jawab Dilan.

“Syukurlah, tidak ada yang mau menjadi guru.” jawab Pak Guru. “untuk mencapai cita-cita itu, kalian tidak memerlukan ijazah, kan? Lalu kenapa kalian masih sekolah?”

Mereka pun terdiam, tidak ada yang berani menjawab.

“Ayo, katakan saja.” rayu Pak Guru.

“Emmmh, karena disuruh orang tua.” jawab Pian, dan yang lain pun mengangguk.

“Tau tidak, alasan orang tua kalian menginginkan kalian sekolah?”

“Emmmh, agar kami belajar.”

“Belajar di rumah juga bisa, kan?”

“Tapi di rumah tidak ada guru.”

“Kan bisa dipanggil, semacam les private.”

“Mungkin karena ijazahnya berbeda dengan di sekolah” jawab Pian lagi sambal menunduk.

Pak Guru mengangguk-anggukan kepalanya, lalu melanjutkan, “tapi cita-cita kalian kan tidak memerlukan ijazah.”

“Emmmhh, tapi orang tua kami menginginkan kami jadi sarjana.”

Pak Guru mengangguk-angguk lagi. Pak Guru akhirnya bercerita tentang masa lalunya, tentang masa mudanya yang tak kalah menyebalkan. Orang yang lebih tua memang hampir selalu menggunakan jurus itu, bahwa mereka sempat muda dan memahami persoalannya, bahwa mereka harus didengar karena sempat mengalaminya.

Murid-murid bandel itu tentu akan manggut-manggut saja di depan Pak Guru. Selama Pak Guru itu tidak menggunakan tangannya, hanya ceramah, itu tak akan menjadi persoalan. Pepatah didengar hanya untuk dilupakan. Para murid itu punya pikirannya sendiri yang jauh berbeda dengan generasi orang tuanya. Dan Pak Guru, harus bisa mengontrol dan mengendalikan pikiran-pikiran anak muda itu.

Setelah Pak Guru cukup puas memberikan omongan, murid-murid itu disuruh kembali ke kelasnya masing-masing. Pak Guru masih duduk di tempatnya semula, lalu bertanya kepada dirinya sendiri, “Sudah cukup baik kah aku untuk menjadi seorang guru?

~

Bercita-cita menjadi seorang guru mungkin lahir dari seseorang yang sedang berputus asa, Pak Guru kita akhirnya menyimpulkan. Pak Guru harusnya gembira, bahwa cita-cita yang selalu ia ungkapkan kepada teman-temannya dulu, akhirnya terkabul juga. Tapi kini ia tak sedikit pun merasa bahagia. Ia selalu kesulitan berhadapan dengan murid-muridnya. Ia selalu merasa salah saat berhadapan dengan Pak Kepala Sekolah. Ia selalu bosan dengan kurikulum yang harus ia kejar setiap tahunnya. Dan ia juga selalu malu kepada istrinya karena gajinya belum cukup untuk membelikannya sebuah rumah.

Tentu, Pak Guru hanya tak pandai bersyukur saja. Jika ia menjalaninya dengan sabar dan telaten, mungkin suatu saat nanti ia bisa seperti Pak Kepala Sekolah yang rumahnya besar, sawahnya banyak, mobilnya bagus, dan selalu mengajarkan jika untuk menjadi seorang guru itu harus ikhlas, hanya berharap mendapat ridho Ilahi semata.

 

Komentar