Cerita dari Dalam Tenda

 


“Jangan berbohong hanya untuk membuat orang lain tertawa.” Begitu nasihat ibuku sepulang aku mengisi acara. Malam itu aku lelah sekaligus lapar, tapi memutuskan untuk langsung masuk kamar dan mencoba untuk tidur, walau sampai tengah malam, aku masih saja tidak lelap.

Aku memang sering berbohong, tapi hanya untuk bahan candaan, dan orang-orang yang mendegarnya (mestinya) tahu itu. Misalnya aku berkata: ibuku jika ingin bikin sambel, tidak perlu pakai cabai, tapi cukup pakai omongan tetangga saja, karena memang sudah pedas. Semua orang sadar jika itu bukan hal yang sebenarnya terjadi, atau dengan kata lain aku sedang berbohong, dan karena itu mereka tertawa.

Tapi kadang aku juga suka membuat kebohongan yang buruk, misalnya aku bilang: saking miskinnya kami, ibuku pernah makan nasi lauknya nasi aking. Kalian tahu kan nasi aking? Iya, itu nasi sisa kemarin yang dijemur kemudian dimasak lagi. Jadi ibuku makan nasi, lauknya nasi lagi yang sudah agak masam. Orang-orang yang mendengarkan itu tertawa, tapi masalahnya ibuku tidak pernah melakukan itu, dan mungkin karena itu yang membuat ia menyuruhku untuk jangan berbohong hanya untuk membuat orang lain tertawa.

Sebenarnya aku tidak ingin berbohong, atau paling tidak, sempat untuk tidak banyak berbohong. Aku sudah mencoba, misalnya aku membuat lelucon: ibuku jika sedang berak, ia tidak pernah cebok. Iya, ketika ia berak, ia tidak pernah cebok. Ia baru cebok jika beraknya sudah selesai. Tapi lelucon seperti itu selalu gagal membuat orang lain tertawa, dan tidak ada hal yang membuatku merasa kesal selain ketika aku gagal membuat orang lain tertawa. Mungkin sama denganmu, ketika dulu banyak orang yang mengatakan kamu penulis, tapi kamu belum menerbitkan satu buku pun.

Perkataan masa penulis belum menerbitkan buku, sama menyebalkannya dengan ungkapan masa komedian tidak bisa melucu. Dan aku harus tetap melucu bahkan ketika Bapakku sedang sekarat di rumah sakit.

Itu terjadi dua tahun lalu. Aku harus pergi ke Puncaklara untuk memenuhi undangan yang dikirim temanku tiga bulan sebelumnya. Dua minggu sebelum aku berangkat, uang muka untukku dikirim, dan sebagiannya langsung aku pakai. Lima hari sebelum aku berangkat, penyakit Bapakku kambuh, dan ia harus dilarikan ke rumah sakit. Aku, ibu dan kakakku ‒yang suka melapor kepada ibu tentang isi komediku itu, harus bergantian berjaga.

Aku tidak bisa membatalkan acara tersebut, karena sebagian besar uang mukanya sudah aku pakai, dan yang tersisa tinggal uang untuk ongkos saja. Maka sekitar jam dua siang, aku pamit kepada Ibu dan Bapak. Sebelum aku pergi, Ibu masih saja berpesan, “jangan berbohong hanya untuk membuat orang lain tertawa.” Aku mengangguk. Tentu bukan anggukan bahwa aku akan menurutinya, tapi hanya karena aku tidak ingin memperpanjang masalahnya.

Selama di perjalanan ke tempat acara, nasihat ibuku masih saja terbayang-bayang di kepalaku, dan itu berhasil membuat aku membuka buku catatan, lalu mencoret beberapa materi yang tingkat kebohongannya buruk ‒walau saat dibawakan di hadapan teman-temanku, berhasil membuat mereka tertawa ngakak. Dan karena banyak materi yang dicoret, maka selama di perjalanan itu aku harus menulis lagi materi baru. Syukurnya, aku berhasil melewatinya, walau membuat kepalaku menjadi sangat pening. Dan dalam perjalanan dari stasiun ke tempat acara, aku membayangkan sekaligus menghafal materi yang baru saja aku tulis di kereta.

Aku tiba di lokasi setengah jam sebelum acara dimulai, dan itu waktu yang cukup untuk beramah tamah dengan teman yang mengundangku terlebih dulu, sekaligus menghafal dan mengembangkan lagi beberapa materi yang sepertinya kurang lucu. Tapi sepuluh menit sebelum aku naik ke atas panggung, ibu menelpon, dan katanya Bapak sedang sekarat di rumah sakit.

Seketika ingatan dan perasaanku ambrol, dan aku hanya bisa melamun sambil menatap langit-langit dengan tatapan kosong. Betapa pun hubunganku dengan Bapak tidak begitu baik, tapi mendengar ia akan segera pergi ‒sedang aku tidak berada di sisinya, tetap saja tidak bisa aku relakan begitu saja.

Aku baru terbangun dari lamunanku setelah ditegur oleh teman yang mengundangku, lalu ia memberi tahu jika acara akan segera dimulai, dan aku harus siap-siap. Aku menutup buku catatan, lalu membawanya ke atas panggung.

Di atas panggung, aku menyapa semua penonton, dan menyebutkan beberapa nama yang aku kenal. Mereka menyambutku dengan gembira, tapi tidak sesemarak yang aku bayangkan. Mungkin karena mereka melihat tanganku yang sedikit bergetar, dan suaraku yang tidak begitu lepas.

Aku menyimpan buku catatan di sampingku, lalu mulai melakukan gerakan-gerakan yang sebelumnya tidak aku rencanakan, hanya untuk membuat suasana sedikit ramai dan gugup di dalam diriku sedikit teratasi. Aku mulai bicara lagi, tadi ibuku nelpon: Nak pulang, ini izrail mau datang. Terus aku jawab: Mak, tolong tanyakan ke Izrail, di surga butuh hiburan gak? Kalau butuh, aku siap ngisi di sana.”

Penonton tertawa, walau tidak begitu riuh. Mungkin beberapa orang masih canggung, apakah hal seperti itu patut untuk ditertawakan atau tidak. Dan aku terus saja seperti itu, membawakan lelucon yang penuh dengan kebohongan. Materi yang aku tulis di dalam kereta, tidak ada satu pun yang aku bawakan. Selain karena peluang lucunya sangat tipis, tapi juga karena aku belum siap untuk membawakannya.

Aku tiba di rumah setelah Bapak dikuburkan. Katanya Bapak meninggal sekitar setengah lima, dan langsung dipulasara agar jenazahnya bisa dimakamkan sebelum hari benar-benar gelap. Tidak ada yang ingin aku salahkan selain diriku sendiri. Setelah itu, selama dua bulan aku tidak menerima tawaran kerja, lalu mulai bepergian ke tempat-tempat yang jauh, tempat yang sebelumnya belum pernah aku kunjungi. Dan dari perjalanan itu, cukup membuat aku bisa melihat sisi lain dari kehidupanku sendiri, dan sedikit menertawakannya.

Dan jadilah kini aku yang sekarang. Mungkin kamu sudah sedikit mengetahuinya dari video-video yang aku unggah. Dan begitulah aku menjalani hari-hariku. Serba tidak pasti, bahkan hampir selalu tanpa rencana yang jelas. Rencanaku adalah hidup tanpa rencana. Melangkah saja, walau dengan sangat santai. Dan buktinya sekarang, rencana kita sebelumnya kan akan mendaki Gunung Cikuray, tapi tiba-tiba malas, dan jadinya malah ke sini. Dan di sini kita hanya kemah ceria saja, walau malam ini aku malah merusaknya dengan bercerita yang tidak ceria. Maaf.

Sebenarnya aku sempat berpikir untuk menuliskan cerita ini, tapi aku takut orang salah memahaminya. Aku takut orang berpikir jika aku minta dikasihani oleh mereka, dan karena itu, aku selalu punya alasan untuk tidak melakukannya. Terlebih, jika aku kembali menuliskannya, sepertinya di dalamnya pun akan ada banyak kebohongan. Tidak mungkin aku menuliskannya dengan sangat jujur. Pasti akan ada bagian yang aku tutupi, akan ada pula bagian yang aku lebih-lebihkan. Dan ketika itu terjadi, ibuku pasti akan menasehatiku lagi, “Jangan berbohong hanya untuk membuat orang lain terharu.”

Apa kamu tahu, kenapa di dalam cerita-cerita yang kamu tulis, kebohongan boleh terjadi?

Aku tahu, secara pengertiannya pun, cerita fiksi berarti cerita yang tidak terjadi sebenarnya, hanya bualan dan khayalan. Dan hanya orang-orang tolol saja yang memercayai kebenarannya. Tapi sayangnya, tetap saja ada orang yang memercayainya, dan malah melarang sekaligus menyita beberapa buku yang isinya cerita fiksi. Hey, orang tolol mana yang percaya kepada cerita yang sejak awal dilabeli bualan dan khayalan? Sepertinya itu lucu sekali. Akhirnya malam ini aku mendapatkan lagi satu materi. Hanya perlu dikembangkan lagi sedikit.

Kamu sedang tidak berpikir untuk menuliskan cerita ini, kan? Oh sungguh, jangan! Kecuali jika sejak awal kamu melabeli jika ceritan ini hanya bualan dan khayalan saja. Ya, sepertinya itu akan menarik.

Besok kita akan pergi ke puncak jam berapa? Jangan terlalu pagi, tunggu matahari terbit saja. Aku ingin tidur nyenyak di sini, di rumah sulit sekali tidur nyenyak. Apakah kamu sudah mengantuk? Sama. Selamat tidur. Tapi sebelumnya boleh kan aku bernyanyi sebentar? Tidak akan keras-keras, hanya bisik-bisik. Aku hanya sedang rindu saja kepada Bapakku. Jika aku dipanggil-Nya juga, aku sudah menyiapkan materi untuk menghiburnya di alam kubur.


Mak sampaikan salamku ke izrail,
tolong datangnya tunda dulu
nanti malam aku harus bekerja
membuat orang tertawa
…………………..

*) dari Dzawin Nur.

24 Febuari 2022

Komentar