Lelaki Yang Tidak Bisa Merayu



 Dia orang baik, aku percaya itu; dan wajahnya pun tidak terlalu buruk. Dia juga bisa dibilang orang yang cukup humoris, selalu bisa membuat kami tertawa hampir di sepanjang perjalanan. Kemampuannya mengolah kegetiran menjadi sesuatu yang bisa kami tertawakan, adalah anugerah tersendiri bagi kami yang terbiasa hidup dengan serius. Tapi menjadi hal yang tidak bisa kumengerti, ternyata di usianya yang ke 35, ia masih sendiri.

Aku tahu ia bukan sejenis manusia yang berprinsip untuk tidak menikah, atau orang yang berpedoman jika hidup sendiri lebih baik. Dalam setiap celetukan-celetukan yang ia lontarkan, aku selalu merasa ada kegetiran di sana. Aku merasakan itu, karena aku juga masih sendiri. Tapi karena aku enam tahun lebih muda darinya, maka aku belum merasa semerana itu.

Saat melakukan perjalanan ke Gunung Gede tiga tahun lalu, ia tampak sedang mencoba mendekati seorang wanita, salah satu teman dari rombongan kami. Ia hampir selalu berdiri di belakang perempuan tersebut, seperti hendak menjaganya setiap saat. Saat kami sudah mulai kelelahan dan beberapa menit beristirahat, ia melontarkan lelucon-leluconnya, dan itu sanggup membuat kami semua tertawa. Seharusnya perempuan tersebut menyadari, jika ia hidup bersama lelaki itu, ia akan disuguhkan dengan banyak komedi di setiap harinya, walau tidak selalu lucu.

Tapi sialnya, kami terlalu bersemangat untuk segera menjodohkannya. Keadaan pun tidak semulus yang kami rencanakan sebelumnya. Perempuan tersebut terlihat risih, dan dengan begitu tidak terlihat simpati lagi kepada lelaki merana itu. Sampai perjalanan pulang usai, perempuan tersebut selalu menjaga jarak dengan teman lelaki kami. Kami pun jadi merasa bersalah.

Keadaan hampir serupa terjadi lagi saat kami mendaki Gunung Ciremai tiga bulan setelahnya. Ketika itu kami mencoba untuk menahan diri, tidak terlalu lagi mencampuri perjuangan lelaki malang itu. Sepintas, aku melihat mereka terlihat akrab. Lelucon yang ia lontarkan, disambut dengan derai tawa yang lepas. Aku mengira perjuangannya kali ini akan berhasil.

Dua minggu setelah perjalanan tersebut, perempuan itu bercerita jika lelaki malang itu tidak pernah lagi menghubunginya, padahal ia sudah mencoba untuk membuka hati. Aku menghubungi lelaki malang itu, dan ia hanya menjawab jika ia tidak terlalu percaya diri.

Aku memberi saran untuk langsung mengutarakan isi hatinya saja. Pendekatan hanya perlu dilakukan oleh mereka yang masih muda, dan masih punya banyak hal untuk diperbincangkan. Aku merasa sudah memberikan saran yang baik, ternyata tidak juga. Kabar mereka tak pernah terdengar lagi. Aku bercermin pada diriku sendiri, maka aku pun tidak memberi saran lagi.

Aku tahu dia orang yang baik, seperti aku juga selalu berusaha untuk melakukan itu. Tapi aku tidak humoris seperti dia, tidak bisa membuat lawan bicaraku tertawa. Maka aku mewajarkan diriku jika seperti ini. Aku tidak bisa membuat lawan bicaraku simpati, apalagi sampai membuat ia terkagum-kagum. Tiap kali melakukan perjalanan, sedang orang yang aku sukai juga ikut dalam perjalanan itu, aku tidak bisa berbuat lebih selain memandangnya dari kejauhan.

Tapi lelaki malang itu berbeda. Sangat berbeda. Ia pintar sekali membuat suasana menjadi cair, membasuh lelah dengan tawa. Maka aku masih merasa tak habis pikir jika nasibnya masih seperti itu. Seharusnya ia mendapat nasib yang lebih baik.

Ketika aku mengunjungi rumahnya tiga bulan lalu, aku sedikit merasakan beban yang ia alami. Ibunya sudah cukup sepuh, sedang ayahnya sudah lama meninggal. Ia anak bungsu, dan karena itu, ia menjadi tumpuan keluarganya. Ia sudah mengajar di salah satu sekolah yang tidak terlalu jauh dari rumahnya. Walau ia cukup sibuk mengajari anak-anak berhitung dan menulis hampir setiap hari, terlebih bertanggung-jawab juga atas moral anak didiknya, tapi tetap saja belum bisa membuat ia tertawa dengan lepas. Selalu ada kegetiran dalam setiap lelucon yang coba ia lontarkan. Kalau saja ia sedang tidak berusaha untuk mengundang tawaku, aku sama sekali tidak ingin tertawa. Sama sekali.

“Kau tahu anak-anak sekarang hp-nya selalu lebih bagus dari gurunya? Aku diajari mereka main instragram dan tiktok. Cekikik kikik kikik.”

“Katanya guru-guru sekarang pada ketinggalan zaman. Follower ig-ku tidak pernah lebih banyak dari mereka. Dan karena itu, mereka bilang pantas saja jika aku belum laku-laku. Cekikik kikik kikik.”

“Mereka selalu menyuruhku untuk segera menikah, tapi mereka juga tidak rela jika kakak perempuannya aku nikahi. Lucu sekali bukan anak-anak itu? Cekikik kikik kikik.”

“Kau harus coba jadi guru. Bukan untuk cari honornya, tapi untuk cari tau jika dunia ini masih banyak menyimpan lucunya. Cekikik kikik kikik.”

Gaya humornya sudah sangat berbeda. Kami memang sudah agak lama tidak bertemu, sekitar dua kali lebaran. Tapi aku melihat jika wajahnya belum setua itu untuk melontarkan lelucon seperti itu.

Setelah ia cukup bercerita tentang kehidupannya yang sekarang, aku pun langsung mengajak ia untuk melakukan pendakian lagi. Ia cukup sumringah mendengarnya, tapi ia tidak yakin dengan kondisi fisiknya yang sekarang. Katanya ia memang masih suka ke kebun, tapi pekerjaan di kebun kebanyakannya hanya dilakukan oleh otot tangan, sedang pendakian lebih mementingkan otot kaki.

Aku yakinkan jika pendakian kali ini akan dilakukan dengan sangat santai, tidak seperti dulu lagi yang mengejar matahari terbit di puncak gunung. Setelah diyakinkan seperti itu, ia mengangguk, lalu menyarankan jika waktunya harus ketika sekolah sedang libur. Walau ia tidak begitu suka kepada Menteri Pendidikan, tapi ia sangat menyayangi anak didiknya.

Pertemuan tiga bulan lalu itu mengantarkan kami sekarang ke sini, ke kaki Gunung Sindoro. Di sini, aku melihat ia begitu berbeda, seperti sepuluh tahun lebih muda. Ia sangat bersemangat sekali, lelucon-leluconnya pun terdengar lebih segar.

“Aduh Bang Asep, kerja terus, sampai lupa main. Kaya tidak, kurus iya. Cekikik kikik kikik” Komentarnya kepada teman kami yang tidak bisa ikut perjalanan kali ini. “Lihat nih, Bang Vijai. Walau sudah nikah, tapi main terus. Kalau Mamang mah, laku belum, main juga jarang. Cekikik kikik kikik”

Sebenarnya lelucon seperti itu sudah sering kami dengar, dan andai saja jika dibawakan olehku, pasti akan terdengar aneh. Tapi entah kenapa, lelucon macam apa saja, ketika dibawakan olehnya akan terdengar lucu saja. Dan kami pun nyaris selalu dibuat tertawa hampir di sepanjang perjalanan. Entah memang oleh leluconnya, atau karena mendengar caranya tertawa.

Seperti rencana kami sebelumnya, kami tidak hendak sampai puncak. Kami hanya rindu tidur di dalam tenda, dan berak di balik semak. Saat malam, kami tidak banyak cerita seperti dulu lagi. Kami hanya butuh tidur, dan menghargai satu sama lain.

Aku tahu, ada beberapa orang yang secara sadar memutuskan untuk hidup sendiri, dan aku sangat menghargai itu. Hanya saja, ia bukan jenis orang yang seperti itu. Ia sangat ingin ada orang yang mencintainya, atau paling tidak, memberikan sedikit senyumannya. Hanya saja, ia tidak tahu cara untuk mendapatkannya.

04 Februari 2022

Komentar