Aku
tahu ia bukan sejenis manusia yang berprinsip untuk tidak menikah, atau orang
yang berpedoman jika hidup sendiri lebih baik. Dalam setiap celetukan-celetukan
yang ia lontarkan, aku selalu merasa ada kegetiran di sana. Aku merasakan itu,
karena aku juga masih sendiri. Tapi karena aku enam tahun lebih muda darinya, maka
aku belum merasa semerana itu.
Saat
melakukan perjalanan ke Gunung Gede tiga tahun lalu, ia tampak sedang mencoba
mendekati seorang wanita, salah satu teman dari rombongan kami. Ia hampir
selalu berdiri di belakang perempuan tersebut, seperti hendak menjaganya setiap
saat. Saat kami sudah mulai kelelahan dan beberapa menit beristirahat, ia
melontarkan lelucon-leluconnya, dan itu sanggup membuat kami semua tertawa.
Seharusnya perempuan tersebut menyadari, jika ia hidup bersama lelaki itu, ia
akan disuguhkan dengan banyak komedi di setiap harinya, walau tidak selalu lucu.
Tapi
sialnya, kami terlalu bersemangat untuk segera menjodohkannya. Keadaan pun
tidak semulus yang kami rencanakan sebelumnya. Perempuan tersebut terlihat
risih, dan dengan begitu tidak terlihat simpati lagi kepada lelaki merana itu. Sampai
perjalanan pulang usai, perempuan tersebut selalu menjaga jarak dengan teman
lelaki kami. Kami pun jadi merasa bersalah.
Keadaan
hampir serupa terjadi lagi saat kami mendaki Gunung Ciremai tiga bulan
setelahnya. Ketika itu kami mencoba untuk menahan diri, tidak terlalu lagi
mencampuri perjuangan lelaki malang itu. Sepintas, aku melihat mereka terlihat
akrab. Lelucon yang ia lontarkan, disambut dengan derai tawa yang lepas. Aku
mengira perjuangannya kali ini akan berhasil.
Dua
minggu setelah perjalanan tersebut, perempuan itu bercerita jika lelaki malang
itu tidak pernah lagi menghubunginya, padahal ia sudah mencoba untuk membuka
hati. Aku menghubungi lelaki malang itu, dan ia hanya menjawab jika ia tidak
terlalu percaya diri.
Aku
memberi saran untuk langsung mengutarakan isi hatinya saja. Pendekatan hanya
perlu dilakukan oleh mereka yang masih muda, dan masih punya banyak hal untuk
diperbincangkan. Aku merasa sudah memberikan saran yang baik, ternyata tidak
juga. Kabar mereka tak pernah terdengar lagi. Aku bercermin pada diriku
sendiri, maka aku pun tidak memberi saran lagi.
Aku
tahu dia orang yang baik, seperti aku juga selalu berusaha untuk melakukan itu.
Tapi aku tidak humoris seperti dia, tidak bisa membuat lawan bicaraku tertawa.
Maka aku mewajarkan diriku jika seperti ini. Aku tidak bisa membuat lawan
bicaraku simpati, apalagi sampai membuat ia terkagum-kagum. Tiap kali melakukan
perjalanan, sedang orang yang aku sukai juga ikut dalam perjalanan itu, aku
tidak bisa berbuat lebih selain memandangnya dari kejauhan.
Tapi
lelaki malang itu berbeda. Sangat berbeda. Ia pintar sekali membuat suasana
menjadi cair, membasuh lelah dengan tawa. Maka aku masih merasa tak habis pikir
jika nasibnya masih seperti itu. Seharusnya ia mendapat nasib yang lebih baik.
Ketika
aku mengunjungi rumahnya tiga bulan lalu, aku sedikit merasakan beban yang ia
alami. Ibunya sudah cukup sepuh, sedang ayahnya sudah lama meninggal. Ia anak
bungsu, dan karena itu, ia menjadi tumpuan keluarganya. Ia sudah mengajar di
salah satu sekolah yang tidak terlalu jauh dari rumahnya. Walau ia cukup sibuk
mengajari anak-anak berhitung dan menulis hampir setiap hari, terlebih
bertanggung-jawab juga atas moral anak didiknya, tapi tetap saja belum bisa
membuat ia tertawa dengan lepas. Selalu ada kegetiran dalam setiap lelucon yang
coba ia lontarkan. Kalau saja ia sedang tidak berusaha untuk mengundang tawaku,
aku sama sekali tidak ingin tertawa. Sama sekali.
“Kau
tahu anak-anak sekarang hp-nya selalu lebih bagus dari gurunya? Aku diajari
mereka main instragram dan tiktok. Cekikik kikik kikik.”
“Katanya
guru-guru sekarang pada ketinggalan zaman. Follower ig-ku tidak pernah lebih
banyak dari mereka. Dan karena itu, mereka bilang pantas saja jika aku belum
laku-laku. Cekikik kikik kikik.”
“Mereka
selalu menyuruhku untuk segera menikah, tapi mereka juga tidak rela jika kakak
perempuannya aku nikahi. Lucu sekali bukan anak-anak itu? Cekikik kikik kikik.”
“Kau
harus coba jadi guru. Bukan untuk cari honornya, tapi untuk cari tau jika dunia
ini masih banyak menyimpan lucunya. Cekikik kikik kikik.”
Gaya
humornya sudah sangat berbeda. Kami memang sudah agak lama tidak bertemu,
sekitar dua kali lebaran. Tapi aku melihat jika wajahnya belum setua itu untuk
melontarkan lelucon seperti itu.
Setelah
ia cukup bercerita tentang kehidupannya yang sekarang, aku pun langsung mengajak
ia untuk melakukan pendakian lagi. Ia cukup sumringah mendengarnya, tapi ia
tidak yakin dengan kondisi fisiknya yang sekarang. Katanya ia memang masih suka
ke kebun, tapi pekerjaan di kebun kebanyakannya hanya dilakukan oleh otot
tangan, sedang pendakian lebih mementingkan otot kaki.
Aku
yakinkan jika pendakian kali ini akan dilakukan dengan sangat santai, tidak
seperti dulu lagi yang mengejar matahari terbit di puncak gunung. Setelah
diyakinkan seperti itu, ia mengangguk, lalu menyarankan jika waktunya harus
ketika sekolah sedang libur. Walau ia tidak begitu suka kepada Menteri
Pendidikan, tapi ia sangat menyayangi anak didiknya.
Pertemuan
tiga bulan lalu itu mengantarkan kami sekarang ke sini, ke kaki Gunung Sindoro.
Di sini, aku melihat ia begitu berbeda, seperti sepuluh tahun lebih muda. Ia
sangat bersemangat sekali, lelucon-leluconnya pun terdengar lebih segar.
“Aduh
Bang Asep, kerja terus, sampai lupa main. Kaya tidak, kurus iya. Cekikik kikik
kikik” Komentarnya kepada teman kami yang tidak bisa ikut perjalanan kali ini. “Lihat
nih, Bang Vijai. Walau sudah nikah, tapi main terus. Kalau Mamang mah, laku belum,
main juga jarang. Cekikik kikik kikik”
Sebenarnya
lelucon seperti itu sudah sering kami dengar, dan andai saja jika dibawakan
olehku, pasti akan terdengar aneh. Tapi entah kenapa, lelucon macam apa saja,
ketika dibawakan olehnya akan terdengar lucu saja. Dan kami pun nyaris selalu
dibuat tertawa hampir di sepanjang perjalanan. Entah memang oleh leluconnya,
atau karena mendengar caranya tertawa.
Seperti
rencana kami sebelumnya, kami tidak hendak sampai puncak. Kami hanya rindu
tidur di dalam tenda, dan berak di balik semak. Saat malam, kami tidak banyak
cerita seperti dulu lagi. Kami hanya butuh tidur, dan menghargai satu sama
lain.
Aku
tahu, ada beberapa orang yang secara sadar memutuskan untuk hidup sendiri, dan
aku sangat menghargai itu. Hanya saja, ia bukan jenis orang yang seperti itu. Ia
sangat ingin ada orang yang mencintainya, atau paling tidak, memberikan sedikit
senyumannya. Hanya saja, ia tidak tahu cara untuk mendapatkannya.
04
Februari 2022
Komentar
Posting Komentar