Kebahagiaan dan Pernikahan

 


Judul               : Lebih Senyap dari Bisikan
Penulis            : Andina Dwifatma
Tebal               : 152 halaman.
Penerbit           : Gramedia Pustaka Utama
Edisi                : Cetakan pertama Juni, 2021
ISBN               : 978-602-06-5420-1

Saya sering dinasihati, jika kita baru akan benar-benar mencintai kedua orangtua setelah kita menikah dan mempunyai anak. Sebagai orang yang masih melajang dan merasa sudah menyayangi kedua orangtua dengan tulus, tentu awalnya saya menganggap jika nasihat itu sedikit agak berlebihan.

Tapi kemudian saya bisa sedikit mengerti mengapa mereka menasihatiku seperti itu, setelah saya membaca novel Lebih Senyap Dari Bisikan karya Andina Dwifatma ini.

Cerita bermula ketika sepasang suami-istri, Amara dan Baron, diseruduk pertanyaan kapan punya anak setelah beberapa tahun pernikahan, dan itu membuat mereka tidak bisa lagi menikmati pernikahannya. Mereka berjuang untuk mewujudkan itu, dengan cara yang normal hingga ekstrem, walau pada akhirnya mereka sadar jika punya anak ‒sama juga seperti pernikahan, tidak berada dalam kendali mereka sepenuhnya.

Memang ada ‒atau mungkin juga sangat banyak, yang bisa dengan mudahnya mempunyai anak. Atau bahkan sebagian tidak menginginkannya, tapi dikasih juga. Tapi pada dasarnya, pernikahan dan juga mempunyai anak, tidak bisa hanya bersumber dari keinginan kita sendiri. Untuk beberapa hal, kita hanya bisa berpasrah dan menerimanya apa pun yang terjadi.

Baru setelah pernikahan mereka yang ke sepuluh (entah ke delapan, saya lupa), Amara hamil, dan Baron girang bukan main. Ia merasa jika ia sudah menjadi lelaki yang seutuhnya. Tapi petaka justru datang berawal dari situ.

Hal-hal yang mereka dambakan sejak awal, setelah didapatkan dan dijalani, ternyata tidak seindah bayangan mereka, atau tidak semenyenangkan omongan tetangga. Orang-orang yang selalu mengompori mereka untuk cepat-cepat punya anak pun tidak hadir ketika mereka sedang berada dalam kesusahan.

Ada satu keadaan yang membuat Amara merasa sudah durhaka kepada ibunya, yaitu detik-detik ketika ia akan melahirkan.

“Pada bukaan keenam, aku ingin menelepon Mami dan meminta maaf karena telah menjadi anak durhaka. Bukaan ketujuh, aku menjerit-jerit minta operasi. Bukaan kedelapan, kupikir aku akan mati (halaman 52).”

Anak mereka dinamai Yuki. Nama itu ada bahkan sejak bayi itu masih berada dalam kandungan Amara. Baron yakin jika anaknya kelak akan perempuan, maka ia menyiapkan nama itu. Walau yang keluar bayi laki-laki, Baron bersikeras jika nama Yuki juga bisa digunakan untuk anak laki-laki.

Malam-malam Amara dan Baron pun menjadi lebih sibuk dari sebelumnya. Tidak ada malam yang nyenyak, tidak ada malam yang hening dari tangisan. Dan tiap kali Yuki menangis kencang, hati Amara terasa remuk. Tapi mereka mencoba untuk menikmatinya, karena merasa ada kebahagiaan lain yang menantinya.

Kasih sayang Amara kepada Yuki, atau kasih sayang ibu kepada anaknya, dalam beberapa keadaan akan membuat proteksi berlebihan.

“Menonton berita penculikan, pelecehan, kecelakaan, dan kekerasan terhadap anak-anak membuat jantungku berdentam-dentam dan napasku sesak. Aku ingin melindungi Yuki dari dunia dan seisinya. Kadang bahkan tebersit untuk memasukkan lagi bayiku ke dalam perut, dia lebih aman di sana (halaman 64).”

Selain menjadi bertambah sibuknya mereka di rumah, kehadiran Yuki juga cukup untuk membuat pengeluaran Baron sedikit terkuras. Keadaan tersebut membuat Baron memutar otak untuk menambah pendapatannya. Pada awalnya berjalan lancar, tapi ketika mereka menganggap jika kehidupan berjalan baik-baik saja, kehidupan seperti menendang mereka tepat di ubun-ubunnya.

Baron rugi, dan komunikasi mereka pun tidak sama lagi dengan sebelumnya. Baron menjadi pemurung dan mudah marah, sedang Amara tak bisa berbuat banyak selain memendam semuanya. Karena sudah tidak saling bicara lagi, keadaan pun berjalan ke arah yang lebih buruk.

Kisah ini berakhir dengan tidak menyenangkan, sebagaimana tidak setiap pernikahan juga akan berakhir menyenangkan. Tapi dengan adanya narasi seperti ini, membuat pernikahan bukan lagi menjadi jalan pintas untuk merebut kebahagiaan. Ada hal-hal yang memang menyenangkan ‒paling tidak dengan tidak ditanya “kapan” lagi, tapi ada juga (atau bahkan lebih banyak) yang menguji ketabahan. Dan yang paling utama dari semuanya, bagaimana seseorang mempersiapkan dengan segala kemungkinan.

Ada satu lagi adegan yang membuat hati saya terasa linu, yaitu ketika Amara hendak membekap Yuki karena ia merasa sudah gagal menjadi seorang ibu, ketika wajah Yuki berdarah digigit tikus dan telah tidur lelap setelah dibawa ke rumah sakit.

“Kupandangi wajah anakku yang begitu damai dalam tidurnya, anakku tersayang. Dia layak mendapatkan hidup yang lebih baik, hidup yang mungkin tidak akan pernah bisa kupersembahkan untuknya (halaman 140).”

Tentu bukan hal yang mudah untuk orangtua mendidik dan membesarkan anaknya, terlebih jika salah satunya tidak ada atau terlalu sibuk. Dan karena itu, apa pun yang sudah mereka lakukan untuk kita, itu adalah hal terbaik yang sudah mereka lakukan. Paling tidak, orangtua kita tidak membekap kita sewaktu bayi karena mereka merasa tidak bisa mempersembahkan kehidupan yang lebih baik untuk kita.

 

Komentar