Merindukan Rindu Menanti


Mungkin kita akan merindukan hal-hal yang sudah tidak bisa lagi kita kerjakan. Bukan tidak bisa tepatnya, tapi karena merasa sudah tidak punya teman untuk melakukan kegilaan yang sama.

Dulu, memang aku menganggapnya sebagai kegilaan. Orang waras hanya akan melakukan yang baik hanya untuk dirinya sendiri. Ia akan belajar sendiri di kamar, atau bekerja agar akhir pekan bisa liburan ke tempat-tempat yang indah atau nongkrong di kafe ternama. Sebagai manusia waras, tentu aku juga ingin melakukan yang sama dengan yang lainnya. Tapi waktu itu, aku mempunyai teman yang gila, dan entah bagaimana caranya, kegilaannya menular juga kepadaku.

Ia membawa buku dari kontrakannya ke sebuah halte yang tidak jauh dari kampus. Menjejerkannya di tempat duduk yang kosong, lalu menawari siapa pun yang duduk untuk ikut membaca buku bersamanya. Tua atau muda. Perempuan atau laki-laki.

Mereka yang sedang menunggu bus tentu tidak mempunyai waktu yang cukup untuk membaca satu buku, walau untuk yang paling tipis sekali pun. Coba kalian bayangkan jika salah satu dari mereka mengambil satu buku, lalu membacanya, dan baru juga membaca tiga halaman, bus yang mereka tunggu sudah datang. Jika buku itu tidak menarik perhatian mereka, tentu akan dengan mudah ia menutup buku dan menyerahkan kembali kepada teman saya itu. Tapi bagaimana kejadiannya kalau buku itu sangat menarik perhatiannya, sedang buku itu tidak boleh dibawa pulang karena hanya bisa dibaca di tempat? Sungguh, bagiku itu siksaan yang sangat menyakitkan.

Bisa saja besok pagi ia datang lagi lebih awal, supaya punya waktu yang cukup untuk bisa membaca buku lebih lama, tapi apakah akan ada orang-orang yang seperti itu?

Sepertinya akan menarik jika ada orang yang benar-benar seperti itu. Ia berangkat pagi sekali dari rumahnya, memakai topi, mantel dan menjinjing tas. Mungkin ia akan datang lebih pagi daripada teman saya yang menjajakan buku-bukunya di depan halte. Ia menunggu sebentar, lalu teman saya datang. Mereka pun bertegur sapa, dan lelaki tua itu menanyakan buku yang kemarin ia baca namun belum dituntaskan.

Teman saya pun dengan sangat semangat mencari buku yang dicari Pak Tua itu, dan akan sangat girang ketika menemukannya seraya menyerahkan buku itu kepada Pak Tua dengan senyuman yang terurai. Lalu Pak Tua itu membaca di sudut halte yang masih sepi, membuka setiap halaman dengan nikmat, dan menutupnya dengan gembira ketika bus yang ia tunggu sudah datang.

Sebelum naik ke dalam bus, Pak Tua itu berpesan agar besok teman saya itu bisa datang lebih pagi, supaya ia bisa membaca lebih lama lagi. Dan teman saya pun mengangguk dengan bangga. Dengan begitu, teman saya akan merasa jika hidupnya sudah sangat berarti bagi orang lain. Aku pun membayangkan itu dengan sedikit bangga.

Tapi tentu keadaannya sangat lain dengan bayangan seperti itu. Orang-orang yang menunggu bus di halte memandang teman saya dengan abai. Teman saya sudah memesan dua gelas kopi, tapi belum ada satu orang pun yang berani menyentuh buku-buku yang ia jejerkan. Mungkin teman saya salah membawa buku. Seharusnya ia membawa buku kiat-kiat sukses atau supaya lolos seleksi test CPNS dengan mudah, atau buku-buku yang seperti itu.

Tapi sialnya, temanku itu tidak patah arang. Esoknya ia kembali lagi ke halte itu dengan koleksi buku yang lebih banyak. Bahkan ia membawa juga beberapa buku dari perpustakaan kampus. Saat ia melihat aku menatapnya tak senang, ia beralasan, “buku yang ada di perpustakaan seperti ilmu yang dipenjara. Ia harus dibebaskan dengan cara menyebarkannya ke setiap sudut kota.”

Ternyata ia lebih gila dari yang aku bayangkan, tapi entah kenapa aku selalu mengikutinya dari belakang. Aku membantu ia berkemas, bahkan dalam beberapa kesempatan, aku membantunya ‒bahkan saat hendak mencuri beberapa buku dari perpustakaan. Walau teman saya itu melakukan aksinya berulang kali, tapi tidak ada kabar dari penjaga perpustakaan jika buku-bukunya sebagian ada yang hilang. Dan itu hanya ada dua kemungkinan; pertama, ia tidak peduli kepada buku-buku yang hilang; dan kedua, ia tidak peduli pada isi seluruh perpustakaan itu hingga ia tidak tahu jika ada buku yang hilang. Dan dari kedua kemungkinan itu, kedua-duanya menguntungkan kami.

Kali ini teman saya itu tidak hanya menjajakan buku-bukunya di depan halte, tapi juga dengan sedikit gerakan bersih-bersih halte. Ia memungut sampah yang berserakan, termasuk puntung rokok yang bertebaran, lalu membuangnya ke tempat sampah. Di lain kesempatan, ia juga mengecat tembok dan tiang bagian yang sudah kusam.

Aku tahu jika ia melakukan itu semua agar tingkahnya mendapat perhatian orang, dan beberapa orang yang sedang duduk santai di halte itu merasa sedikit tidak enak, hingga akhirnya mereka meraba buku-buku yang ia bawa, lalu pura-pura membacanya.

Dengan sedikit optimisme yang tinggi, teman saya itu pun mulai menamai gerakannya dengan nama Rindu Menanti. Tentu ia pun sedikit membual mengenai arti dari nama itu, yang konon berkat kehadirannya, menanti bus bukan lagi menjadi hal yang menyebalkan, tapi akan menjadi sesuatu yang merindukan. Ia mencetak bualannya itu ke dalam sebuah brosur murahan, lalu membagikan kepada siapa pun yang datang ‒walau dengan wajah enggan.

Entah bagaimana ceritanya, gerakannya itu tercium juga oleh beberapa wartawan yang sepertinya memang tidak punya kerjaan, lalu dengan sedikit iseng datang untuk mewawancarainya. Muka teman saya pun terpangpang di dalam berita-berita yang konon menginspirasi, dan disertai juga beberapa petikan upacannya yang dikutip secara langsung.

“Saya hanya ingin membuktikan jika sebenarnya masyarakat kita bukannya tidak mau membaca, mereka hanya terlalu berjarak saja dengan buku, hingga kesempatan mereka untuk membaca sangat terbatas.” Ujar Ami (11/11).

Kegilaan itu terdengar seperti bukan kegilaan lagi. Ia mewaras ketika banyak orang yang mulai mengikutinya. Hampir setiap halte yang ada di kota ini mulai diisi oleh pemuda dan pemudi penjaja buku, dan hampir setiap orang pengguna halte membaca buku terlebih dahulu walau selembar atau dua lembar. Dan terjadilah apa yang dulu aku khawatirkan.

Warga mulai cerewet kepada pemerintah. Mengkritisi ini, mempertanyakan itu. Dan disaat genting seperti itu, Ami menghilang entah ke mana, tanpa kabar secuil pun.

Kegaduhan mulai terjadi di mana-mana. Di gang-gang kecil, di pos kamling, bahkan di layar televisi yang biasanya menyiarkan bualan-bualan tentang keadilan. Polisi dan tentara pun akhirnya diterjunkan untuk merampas buku-buku yang biasa dijejerkan di depan halte. Buku apa pun, bahkan buku Kiat Sukses Hancur Lebur pun ikut kena angkut. Sedang penunggu halte diperingatkan agar tidak mengulanginya lagi, kalau ketahuan sekali lagi, mereka pun diancam akan ikut diangkut juga. Di depan polisi dan tentara itu, aku berjanji tidak akan mengulangi kegilaan ini lagi.

Dan begitulah semuanya berakhir. Lambat laun, warga kota pun kembali waras, dan mulai menjalani lagi hari-harinya seperti biasa. Bercinta, bekerja, mengeluh di pos ronda, atau apa pun asalkan tidak membaca buku. Kini, aku pun sudah bekerja di sebuah penerbitan jurnal, dan tentu sudah tidak giat membaca lagi. Dan sepertinya bosku pun senang melihatnya.

Aku sudah tidak tahu bagaimana nasib Ami sekarang. Terakhir aku mendengar kabarnya dua tahun lalu, ketika ia baru ditemukan dan mengaku selama menghilang itu ia sedang liburan di Jepang. Tentu tidak akan ada teman mau pun kerabatnya yang percaya, tapi kami bersepakat untuk pura-pura percaya saja. Dan kini, aku merindukannya. Lebih tepatnya, merindukan kegilaannya.

Aku tahu, ia masih hidup dengan kegilaannya. Ia terlahir dengan watak seperti itu. Tapi kini kami sudah tidak mengikutinya, karena kami lebih sayang dengan kehidupan kami sendiri.

 

22 Februari 2022

Komentar