Setelah bangun dari tidur yang kedua, tidur setelah salat
Subuh, aku melihat jam dengan sangat malas. Aku harus berolahraga, pikirku.
Tapi selimut hangat ini masih terlalu nyaman untuk disingirkan. Sudah setengah
tujuh, dan jika aku tidak kunjung bangkit, aku akan melewatkan olahraga pagi.
Kadang aku berpikir, beruntunglah mereka yang menjadi petani,
atau yang menjadi kuli bangunan, atau pekerjaan apa pun yang menimbulkan
keringat. Mereka tidak perlu berolahraga supaya badan mereka tetap bugar.
Mereka kuat dan sehat. Walau kebanyakan dari mereka bekerja dengan terpaksa.
Kebanyakan dari kita memang bekerja dengan terpaksa.
Tapi pikiran semacam itu segera hilang ketika aku hendak
mencobanya. Ibuku masih punya ladang dan sawah, dan aku bisa saja meneruskan
pekerjaan ibu jika aku mau. Tapi baru juga membantunya beberapa hari, aku
merasa jika aku sangat tidak layak untuk menjadi petani. Aku terlalu lemah dan
manja. Aku pun membantu ibu hanya sekenanya saja, bahkan aku tidak lebih kuat
dari ibuku sendiri.
Maka satu-satunya cara agar aku tidak terlalu payah, aku harus
berolahraga. Paling tidak setengah jam setiap harinya. Tekad itu sering aku
langgar, tentu saja. Aku sering bangun setengah delapan dari tidurku yang
kedua, dan ketika itu terjadi, aku harus segera mandi dan masuk kantor. Tidak
ada waktu lagi untuk meregangkan badan.
Pagi ini aku memaksakan diri untuk segera bangkit dan
mengenakan sepatu. Pinggangku sudah terlalu linu untuk terus dibiarkan, dan
leherku sudah terlalu kaku untuk digerakkan. Tidak ada jalan lain lagi selain
aku harus meregangkan badan sebentar, kalau tidak, tubuhku akan segera ambruk,
dan itu tentu akan lebih menjengkelkan.
Aku memanaskan motor sebentar. Syukurlah, sekarang mesinnya sudah
tidak gampang mati lagi. Selama hampir satu bulan belakangan ini, aku selalu
kepayahan saat hendak memanaskan motor. Mesinnya gampang mati, walau aku sudah
memegang pedal gas perlahan-lahan −tentu aku tidak enak dengan
tetangga jika memegang pedal gas terlalu kencang. Sebelum berlari, aku sudah
bisa keringatan karena terlalu sering menginjak pedal selah motor yang sulit menyala.
Kemarin motorku baru dibawa ke bengkel untuk dibersihkan bagian karbunya, dan
katanya lamsang motorku terlalu kecil, dan karena itu jadi mudah mati. Sekarang
sudah seperti biasa lagi.
Setelah merasa mesin motorku sudah cukup hangat, aku pun langsung
memacunya. Baru beberapa meter melaju, aku merasa ada sedikit yang kurang.
Respon dari pedal gas kepada mesinnya jadi sedikit telat. Ah mungkin karena motorku
belum terlalu panas, pikirku. Aku pun terus melaju dari gang rumah hingga ke
jalan raya, namun saat menyeberang karena aku harus ke arah kanan jalan raya
itu, mesin motorku mati. Aku panik bukan main, lalu menurunkan giginya ke
netral, dan menarik mundur motorku lagi supaya tidak menghalangi jalan.
Di pinggir, aku mencoba menginjak selah berkali-kali. Mesin
menyala, namun saat aku menarik pedal gas, masin mendadak mati kembali. Ini
kebalikannya dari yang aku alami kemarin-kemarin. Aku berpikir mungkin ini
penyakit jika lamsang motorku terlalu kencang. Ketika motor menyala, aku
menunggu beberapa saat, tidak langsung menarik pedal gas. Setelah beberapa
lama, pedal gas aku tarik perlahan. Namun hasilnya tetap sama, mesin motorku
mati kembali. Dan yang lebih mengkhawatirkannya lagi, bahkan untuk selanjutnya
motorku tidak mau menyala walau tidak ditarik pedal gasnya sekalipun.
Aku turun dari motorku, lalu melihat tutup busi. Barangkali
terlepas, atau kurang kencang. Setelah diperiksa, semuanya baik-baik saja. Lalu
aku memerhatikan karbu motorku. Tentu saja aku tidak paham jika di sana ada
sesuatu yang salah, tapi paling tidak aku ingin melihatnya. Siapa tahu tidak
ada baud yang terpasang, dan aku menganggap jika itu menjadi penyebabnya. Tapi
sekali lagi, aku merasa tidak ada sesuatu yang janggal −dan jika
pun ada, aku tidak bisa mendeteksinya.
Setelah kebingungan sambil terjongkok cukup lama, ada seseorang
memelankan laju motornya, lalu menyapaku. “Kenapa Kang? Habis bensin?” tanya
lelaki itu.
Habis bensin? Itu sepertinya tidak mungkin. Aku sudah sepuluh
tahun mengendarai sepeda motor ini, dan aku sudah bisa mendeteksi jika itu
terjadi, seharusnya. Memang indikator bensin di motorku sudah lama tidak
berfungsi, tapi aku sudah bisa memperkirakannya. Dalam sepuluh tahun
mengendarai sepeda motor ini, aku baru dua kali kehabisan bensin −dengan
catatan yang satunya lagi bukan karena salah perkiraan, tapi dalam keadaan di
tempat yang susan mencari pom atau penjual bensin eceran. Dan itu pun sudah
terjadi lama sekali. Maka aku pun menjawab kepada lelaki tersebut, “tidak Kang,
hanya mati mesin saja.”
Lelaki itu tidak langsung pergi, tapi mencoba ikut mengamati
kenapa mesin motorku tidak mau menyala. Aku mengingat-ingat lagi, kapan
terakhir aku mengisi bensin. Kalau tidak salah ingat, terakhir aku mengisi
bensin sekitar empat hari yang lalu, dalam perjalanan pulang dari Sumedang
setelah menghadiri pernikahan teman. Perjalanan Sumedang-Bandung memang cukup
jauh, tapi waktu itu aku mengisinya penuh, dan setelah sampai di Bandung pun
aku tidak begitu sering menggunakan motorku. Seharusnya bensin di dalam tengki motorku
masih ada. Tapi bagaimana kalau aku salah memperkirakan?
Dengan sedikit malu, aku pun berujar lagi kepada lelaki itu.
“tapi belum dicek sih, Kang.” Aku pun mengambil kunci di bawah stang motor,
lalu membuka jok. Setelah itu aku membuka tutup tengki bensin motorku, memperhatikannya
dengan seksama. Kosong. Aku menggoyang-goyangkan badan motorku, siapa tahu
mengendap dan tak terjangkau penglihatanku. Tetap saja. Kering.
Dengan sangat malu, aku pun berkata kepada lelaki itu, “Iya
Kang, bensinnya habis.” Aku sangat malu kepada diriku sendiri. Bagaimana bisa
aku sangat lalai memerhatikan isi tengki motorku sendiri. Motor yang sudah
menemaniku sepuluh tahun lebih.
Aku baru saja teringat, ketika karbu motorku diperbaiki,
Mamang Bengkel itu mengambil bensin dari tengki motorku untuk membersihkannya.
Memang tidak banyak, mungkin hanya dua cangkir kecil saja. Tapi mungkin karena
itu juga, aku jadi salah memperkirakan.
Aku mengira jika lelaki itu akan menolongku dengan mendorong
motorku sampai ke pom terdekat. Tapi aku salah. Ketika aku hendak menutup
tengki motorku, ia mencegahnya, lalu ia membuka jok motornya, dan di sana ada
satu botol aqua 1,5 liter yang sudah penuh dengan bensin. Aku sama sekali tidak
menyangkanya. Selain karena hal tersebut tidak pernah kulakukan, tapi juga
kukira orang di sekelilingku juga tidak pernah melakukannya. Mungkin itu
persediaan untuk motornya sendiri, atau juga ia sengaja menyediakan itu untuk
orang yang lalai nan ceroboh sepertiku.
Apa pun motifnya, aku sangat berterimakasih kepadanya. Tentu
aku tidak ingin menebus pemberian itu dengan cuma-cuma. Aku kehabisan bensin
bukan karena aku tidak mampu membelinya −walau selalu dinaikkan harganya
tiap tengah malam ketika aku sedang nyenyak tidur-, tapi memang karena aku
ceroboh dalam memperkirakan. Aku pun merogoh saku, lalu menyerahkan uang 15
ribu kepadanya. Ia menolak, tapi aku tidak gentar. Aku menaruh uang itu di dasbor
motor matiknya, di bawah tempat kunci menggantung. Tapi ia sangat keras kepala.
Ia mengambil uang itu, lalu dengan memohon agar aku mengambil uangku lagi.
Aku menatap matanya sebentar, lalu aku pun menyerah. Uang itu
aku ambil lagi, lalu mengucap berribu terimakasih. Ia tersenyum, tampak sangat
senang. Tak lama kemudian ia pun pamit. Aku mengangguk, tak lupa mengucap
terimakasih sekali lagi.
Bensin dalam botol aqua itu aku tuangkan ke dalam tengki
motorku, lalu aku pun mencoba menginjak pedal selah beberapa kali. Setelah
bensin turun ke karbu yang sebelumnya kering, entah diselahan yang ke berapa,
motorku menyala kembali. Aku bersyukur, tentu saja. Aku memang ceroboh, dan
sepertinya dalam beberapa hal akan selalu seperti itu. Tapi ketika aku ceroboh
seperti itu, Tuhan selalu mengirim orang-orang yang seperti dia.
Pagi ini aku lari sebentar saja, mungkin hanya beberapa ratus
meter. Tapi itu cukup untuk membuat napasku bergerak cepat. Setelah itu aku
melakukan sedikit peregangan, supaya bagian leher dan pinggang tidak terlalu
linu jika digerakkan. Bekerja hanya dengan duduk sambil menatap layar komputer
seharian penuh memang ada sisi menyenangkannya, tapi itu juga bisa membuat
rambutku rontok, leherku pegal dan pinggangku linu. Maka tidak heran jika dalam
beberapa bulan terakhir ini, aku mudah sekali terserang demam dan pilek.
Setelah peragangan dirasa cukup, aku pun kembali lagi. Tak
lupa membeli sesuatu untuk sarapan. Aku punya penyakit maag, aku tidak ingin
membuat hidupku tambah kacau dengan lupa membeli sarapan.
Komentar
Posting Komentar